Membuka gerbang kost hendak berangkat kerja, Yani mundur satu langkah melihat Alfa sudah berdiri di hadapannya.
"Astaghfirullah!" Ia mengelus dada, kaget. "Bukannya udah kubilang, Kak. Buat segera kembali ke Jakarta."
Melipat tangan, Alfa tersenyum miring. "Terserah gue mau balik kapan. Lo nggak seberhak itu buat ngatur gue."
Yani balas melipat tangannya, tersenyum. "Kakak juga ga seberhak itu buat maksa aku kembali."
Mendongak, Alfa menatap datar ke matanya yang sembab. "Lo abis nangis semalam?"
"Iya," Yani mengangguk, tersenyum kecut. "Anggap aja aku lagi tertekan karena ketenanganku terancam."
Tidak ada sahutan. Yani menghela napas, menatap lurus Alfa yang juga terdiam menatapnya. Yani akui dirinya menemukan satu perbedaan, lelaki itu tidak langsung mencak-mencak ketika mendengar kalimat yang tidak sesuai keinginannya.
"Permisi, Kak. Aku mau berangkat," ujarnya, melangkah meninggalkan Alfa.
"Yan!"
Membuang napas, Yani menoleh.
"Gue belum pengen nyerah."
Yani mengangguk, meneruskan langkah. Alfa segera menyusulnya yang berhenti di pinggir jalan.
"Biar gue antar."
"Ngga usah, aku juga udah janjian sama temen."
"Temen siapa?"
Yani terdiam, Alfa segera menebak.
"Ooh, pasti si berengsek semalam, kan."
"Jaga ucapan kakak," protes Yani. "Dia cowok baik kok, bertanggungjawab. Lagipula kami juga satu kerjaan."
"Ooh, gitu. Jadi Lo lebih banggain cowok itu dibanding gue?"
Yani mengangguk. "Kalau dipikir-pikir apa yang mesti aku banggain dari kamu, Kak?"
Berusaha menekan takut berbicara seenaknya pada Alfa, Yani mundur sedikit. Lelaki itu tampak menahan kesal. Yani dapat melihat dari gurat wajah Alfa yang seolah ingin menelannya sekarang juga.
Mereka meneruskan debat sampai akhirnya motor Tomi berhenti di dekat mereka. Alfa langsung menatap seolah ingin memangsanya hidup-hidup.
Namun, Tomi terlihat santai. Lelaki itu tersenyum lebar seraya mengulurkan helm pada Yani. "Yuk, berangkat. Keburu telat ntar bos ngomel-ngomel kek Minggu kemaren."
Dasar sok asik, batin Alfa jengkel yang hanya direalisasikan lewat tatapannya yang tidak biasa. Tomi membalas tatapannya, Alfa semakin menajamkan mata.
"Kak," keluh Yani berusaha melepaskan pegangan Alfa. "Lepas, Kak. Aku mau berangkat."
"Heh," ujarnya menggedikkan dagu ke Tomi. "Lo berangkat duluan sana, Yani biar sama gue."
"Nggak mau!" seru Yani.
"Tuh, denger kan Lo. Yani-nya aja nggak mau, jadi sebaiknya Lo nggak maksa!"
"Lo cabut atau gue bikin gak bisa berangkat kerja seminggu!" tekannya tak melepaskan tatapan dari Tomi.
"Kak!" Yani menghempas tangan Alfa. "Udah kubilang gak usah maksa aku!"
"Lo cowok bukan sih njir? Kalau cewek gak mau itu jangan dipaksa."
"Nggak usah bacot!"
"Lo siapanya dia? Kalau dia nggak mau, Lo tau diri lah!"
"Gue suaminya!"
"Hah, suami?"
"Nggak!" bantah Yani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Marriage
RomanceMenikah dengan kakak tingkatnya yang kasar hanya karena salah paham dan kena grebek warga, bukan hal yang Aryani inginkan dalam daftar hidupnya. Note; kurang cocok untuk anak dibawah umur, karena mengandung kekerasan dan banyak kata kasar. Selamat m...