46

13.2K 872 37
                                    

"Lo bikinin ayah kopi sana. Capek gue, baru pulang udah disuruh suruh."

Yani mengangguk ketika kekaknya menghampiri ia yang habis makan di dapur. Kekaknya itu melemparkan tugas yang diberikan ayah padanya.

Segera Yani membuatkan kopi dan menghantarkan ke ayahnya yang sedang duduk di ruang tengah. "Ini Yah kopinya," ujarnya, tetapi segera panik ketika melihat ayahnya menatap tajam ke arahnya.

"Maaf, Yah. Yani kurang hati-hati naruh kopinya," ucapnya sembari mengelap kopi yang muncrat di gelas itu dengan jarinya.

"Mamang kapan kamu bisa benar melakukan sesuatu."

"Iya Yani salah, maaf Yah."

"Udah sana-sana. Bosen saya lihat kamu. Kerjaannya tiap hari di rumah, makan tidur!"

Yani berusaha menguatkan diri ketika ayahnya mulai berbicara kasar padanya. "Iya Yah, maaf ya. Yani kan belum betul-betul pulih. Nanti kalau udah sembuh, Yani bakal lebih rajin bantu-bantu di rumah sama bakal nyari kerja lagi."

"Udah bener-bener keluar kamu dari kampus?"

Yani menggeleng. "Aku cuti dua semester. Semoga semester depan aku udah punya cukup biaya buat lanjutin kuliah."

"Oh, bagus lah kalau kamu sadar diri buat nggak nyusahin. Lagipula saya juga udah gamau bantu kuliah kamu."

"Iya, Yani ngerti kok," jawabnya mengambil nampan, lalu melangkah pergi.

Sesak sekali, sehingga ia diam-diam menangis di dapur. Kapan ayahnya akan sedikit bersikap manis padanya. Bukankah orangtua akan perlahan memaafkan kesalahan anak, tapi mengapa ayahnya sedikitpun tidak memberikan pintu maafnya. Setiap hari hanya berkata-kata kasar dan merendahkan.

Tersentak Yani merasakan ada yang menyentuh pundaknya di belakang. Buru-buru ia mengusap matanya, lalu menoleh.

Ternyata ibunya. Wanita itu bertanya apa yang terjadi padanya. Yani hanya berkata tidak apa-apa, lalu izin kembali ke kamar. Namun, Tasri menahan tangannya dan berkata ingin bicara dengannya.

Yani menurut ketika ibunya mengajak duduk di halaman belakang rumah. Tasri menatapnya lama, Yani bertanya apa yang akan dikatakan ibunya.

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa kok, Buk." Yani menunduk.

"Udah jujur aja. Kita bisa bicara dari hati ke hati. Ibuk mau kok dengarin keluh kesah kamu."

Matanya berkaca-kaca ketika ibunya mengatakan itu. Dan ketika Tasri menggenggam tangannya erat saat itulah pertahanannya runtuh. Isak tangisnya mulai terdengar.

"Nggak apa-apa, nangis aja dulu."

Tangisnya semakin keras. Namun, Yani berusaha meredam, tidak ingin seisi rumah tau. Tasri mengelus punggungnya, ia pun menumpahkan tangis yang selama ini ditahan.

Setelah dirasa mulai tenang, Tasri kembali berbicara, "Udah boleh cerita."

Yani masih terisak-isak. Beberapa menit kemudian ia mengangguk. Namun, ia masih kesulitan untuk berbicara. Dan bingung harus memulai darimana.

"Bu, apa kehadiran Yani penting?" tanyanya sambil sesekali terisak. Ia menarik napas, berusaha menenangkan diri.

Tasri terdiam, kembali mengelus pundaknya. "Yani boleh kali ini ngomong apapun?" tanyanya.

Tasri mengangguk, tersenyum sumbang.

"Aku ngerasa di rumah ini aku seperti bukan bagian dari kalian. Ibuk ingat nggak sejak kecil aku selalu tanya ini, tapi ibuk selalu ngeyakinin ini cuma perasaanku aja," Yani menjada ucapannya. Memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.

Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang