45

14.9K 887 20
                                    

Puluhan notifikasi langsung menyerbu ketika Yani mengaktifkan ponselnya, setelah beberapa hari ini ia nonaktifkan. Kebanyakan notif berasal dari Alfa.

Yani membaca pesan-pesan itu. 'lelaki itu khawatir padanya'. Hanya itu inti dari puluhan pesan tersebut. Yani menghela napas, lalu menulis pesan balasan.

'Aku baik kak.' Tulisnya singkat.

Tak beberapa lama, langsung terdengar motif balasan. 'Lo nggak lagi diancam kan?'

'Ngga.'

Dering pesan itu berubah jadi panggilan. Yani hanya menatap layar ponsel sampai panggilan itu mati. Tak berhenti di situ, Alfa terus menelfon, hingga Yani akhirnya mengangkatnya.

Yani terdiam, Alfa langsung memberondong pertanyaan. "Aku baik-baik aja, Kak Alfa nggak usah khawatir. Sekarang Kak Alfa urus diri sendiri aja, gausah khawatir lagi soal aku."

"Nggak usah ngatur-ngatur. Itu urusan gue!"

"Kak, aku lagi gak mau bahas apapun."

Yani mematikan sambungan, lalu memblokir nomor Alfa. Ia sedang tidak ingin berdebat. Lelaki itu hanya tahu berteriak, tanpa mau benar-benar memahami kondisinya.

Yani pelan-pelan mulai berjalan lagi. Ia hendak mengambil minum di dapur, dan ketika melewati ayahnya yang sedang menonton televisi. Pria itu hanya melirik sekilas dan kembali tidak perduli.

Usai minum ia memberanikan diri duduk di samping ayahnya. Lagi lagi ia hanya menerima pengabaian. Sudah beberapa hari ia di rumah, ayahnya belum juga mengajaknya bicara.

"Yah..." cicitnya, berusaha memulai obrolan. Tidak ada tanggapan.

"Ayah..." ujarnya lebih keras. Masih tidak ada sahutan.

Yani mengulurkan tangan, menyentuh pelan pundak ayahnya. Pria itu menoleh, menatapnya tajam.

"Apa?!":

Yani menunduk.

"Maaf," lirihnya.

"Itu aja?"

Yani menghela napas, terdiam.

"Sudah gausah ganggu orang nonton TV."

"Bagus ya Yah, acara TV-nya?"

"Tentu lebih bagus dibanding melihat kamu!"

Yani meremas bajunya. Kata-kata ayahny begitu menusuk. Meski Yani sudah biasa, tetapi rasanya masih begitu sakit.

"Jangan kamu kira karena kamu boleh kembali tinggal di sini, saya sudah memaafkan kelakuan kamu."

"Iya, Yah. Yani paham kok. Tapi Yani mohon banget, kasih tau gimana caranya supaya Ayah bisa memaafkan Yani?"

"Saya gak tau."

"Yani mohon, Yah." Yani mulai terisak, ia berusaha menyentuh ayahnya, tetapi pria itu langsung menepisnya.

"Sudah kamu pergi dulu, saya sedang malas bicara!"

Yani masih terisak duduk di situ, tetapi ketika ayahnya menoleh menatapnya sengit, Yani pun menarik langkahnya pergi.

Pemandangan pilu itu dilihat oleh Tasri. Ia pun menyusul Yani ke kamar. Tetapi Yani mengunci pintu, sehingga Tasri memilih pergi.

***

Suara ketukan pintu terdengar. Tasri bergegas membuka pintu. Ia terbelalak melihat orang yang datang.

"Ngapain kamu ke sini? Kalau suami saya tau dia bisa ngamuk."

"Saya mau ketemu Yani."

"Yani gak mau ketemu kamu!"

Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang