"Makasih, Tom."
Tomi mengangguk, perempuan yang baru turun dari motornya itu, tersenyum mengembalikan helm.
"Selamat malam, jangan lupa makan, diminum tolak anginnya, semangat!" ucapnya melambaikan tangan, tersenyum simpul, lalu melajukan motornya pergi.
Lelaki itu sangat baik padanya. Tomi sudah menjadi teman kerja yang ramah, sejak pertama ia masuk sebagai waiter di salah satu restoran seafood, kota hujan, Bogor.
Perempuan itu berjalan pelan memasuki kamar kost-nya. Setelah mengajukan cuti dua semester untuk kuliahnya, Yani memutuskan untuk pindah di Bogor hampir dua bulan yang lalu, tidak lama setelah ia memutuskan berpisah dengan Alfa.
Semua ini berkat bantuan kakak Alfa juga. Febri membantu kepindahannya ke sini, meninggalkan segalanya di Jakarta. Lelaki itu juga memberinya uang untuk modal bertahan hidup. Yani ingin menolak, tetapi ia tidak mau menjadi gembel di kota orang. Ia bertekad mengumpulkan uang hasil kerjanya untuk membayar biaya yang diberikan Febri.
Untungnya setelah bolak balik memasukkan CV ijasah SMA, akhirnya ia diterima di tempatnya kerja sekarang. Meski ia sering pulang malam, Yani bersyukur masih bertahan hidup di sini.
Ia merebahkan tubuh di kasur, seringkali lelah menghadapi kenyataan. Namun, ia harus tetap sugesti dirinya supaya kuat. Kalau tidak diri sendiri siapa lagi, orangtuanya pun agaknya sudah benar-benar tidak perduli padanya. Buktinya mereka juga tidak pernah mencari kabarnya, atau ingin tahu keberadaannya.
Usai mengganti pakaian, Yani membuka nasi bungkus yang dibelikan Tomi sebelum pulang tadi. Tomi juga membelikan tolak angin dan susu kotak, karena melihatnya lemas di dapur tadi. Lelaki itu sungguh perhatian, padahal ia sering menolak diantar pulang, tapi Tomi tetap kukuh saat jam pulang mereka berbarengan, bahkan terkadang lelaki itu sengaja menunggu.
Yani tidak masalah mendapat kebaikan dari orang lain, ia hanya takut tidak dapat membalasnya, atau lelaki itu mengharap balasan yang tidak bisa ia penuhi.
Yani mendesah, ia belum bisa membuka hati. Bukan tertutup karena seseorang, ia hanya belum tertarik memikirkan tentang hubungan. Fokusnya sekarang hanya ingin mencari uang dan melanjutkan kembali pendidikan.
Ia masih ingin memperjuangkan gelar sarjananya. Semangat, ujarnya pada diri sendiri.
****
Yani tersentak mundur, menarik catatan pesanan. Pelanggan yang tersenyum manis di kursi adalah orang yang paling ia hindari. Ia tidak menyangka akan bertemu di sini.
Alfa menarik buku catatan sembari mengelus tangannya pelan. Mencontreng menu yang ingin ia pesan. Yani menatapnya gugup, ia ingin berteriak tetapi tidak mau merusak reputasi.
Yani mengerjapkan mata, barangkali ia salah melihat, terapi tidak lelaki itu benar-benar Alfa. Ia mencubit diri berharap ini hanya mimpi. Tidak, ia tidak terbangun juga. Ini asli, tetapi untuk apa Alfa di sini.
Mengembalikan catatan menu, Alfa mengedipkan mata. Yani masih bereaksi kaku, dia mengambil kertas tersebut lalu buru-buru ke dalam.
Ia kembali membawakan udang mentega dan jus yang dipesan Alfa. Tangannya bergetar, ia berharap nampan yang dipegang tidak terjatuh. Rasanya ingin menangis sekarang, ia belum siap bertemu kembali dengan Alfa.
Apa benar lelaki itu tidak sengaja mengunjungi restoran ini, atau memang sengaja ingin menemuinya. Kepalanya menerka, rasanya ia ingin menghilang saja.
"Si-silakan..."
Alfa tersenyum miring. Dia hendak kembali, tetapi tangannya ditahan Alfa. "Boleh nanti sepulang kerja minta waktu mbaknya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Marriage
RomanceMenikah dengan kakak tingkatnya yang kasar hanya karena salah paham dan kena grebek warga, bukan hal yang Aryani inginkan dalam daftar hidupnya. Note; kurang cocok untuk anak dibawah umur, karena mengandung kekerasan dan banyak kata kasar. Selamat m...