Menatap lama layar ponsel, wajah Yani sudah basah. Ia membalik badan, membiarkan cairan bening dari mata mengaliri pipinya.
Ini sudah berbulan-bulan, atau bahkan sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan keluarganya. Dadanya terasa sesak menerima fakta tak satupun dari mereka yang berniat mencari tau keadaannya.
Yani membuka Instagram kakak perempuannya, menemukan unggahan bahwa satu keluarganya beberapa hari lalu baru saja liburan bersama. Apa mereka tidak ingat padanya, atau setitik saja ingin tau apakah dirinya masih berada di dunia yang sama. Yani bergumam sembari menekan kuat dadanya.
Sekuat kuatnya ia dapat menjalani segalanya sendiri, ia masih seorang anak yang menginginkan dekapan kasih sayang dari keluarganya. Tetapi, mengapa ia seolah sangat tidak berhak mendapatkan itu.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, sudah sejak jam delapan tadi ia melamun meratapi nasib. Membaca ulang pesan-pesan yang ia kirimkan bulan lalu, tetapi tidak digubris oleh orangtuanya. Ia bahkan ketakutan untuk mengirim pesan lagi. Penolakan itu sangat menyayat hatinya.
Tubuhnya berguling ke sana ke mari, malam semakin larut tetapi ia kesulitan untuk terlelap. Dadanya seolah terhimpit, membuatnya ingin berteriak andai saja tidak takut mengganggu tetangga di malam buta.
Ponselnya berdering, Alfa menelfonnya. Ia sedang malas berbicara, membiarkan dering itu berhenti sendiri. Namun, dering kedua dan ketiga membuatnya risih, jika ia mematikan data ponsel, hanya akan membuat Alfa curiga dan marah keesokan harinya. Kapan juga lelaki itu bisa mengerti posisi orang lain.
Yani mengatur napas, lalu mengangkat panggilan itu. "Halo," suara di seberang menyapa. Ia kembali menarik napas, menggigit bibirnya agak suara isaknya tidak terdengar. Namun, sepertinya Alfa tetap menyadari getaran suaranya yang berbeda.
"Kenapa?"
"eggg-enggak apa-apa."
"Nangis?"
"Engg,"
"Nangis kenapa?"
Pertanyaan itu malah membuat isakan yang tidak mampu ia tahan lagi. Hampir setengah jam Alfa terdiam, membiarkan perempuan selesai menangis. Ia bahkan sampai ke dapur membuat kopi, dan saat kembali Yani masih terisak isak.
"Udah?"
Hening.
Alfa tidak sabar, lelaki itu mendengus, lalu kembali bertanya dengan nada lebih tinggi. Terdengar tarikan napas yang panjang-panjang sebelum Yani menjawab dengan bergetar. "aa-aku ka-kngen ke-keluarga."
"Heh, apaa?!"
"Hiks, heuh, huh ... apa a-aku masih punya keluarga, Kak?"
Menarik napas Alfa terdiam. Cukup lama. Alfa tidak tahu harus menjawab apa, ia mengingat saat Ranu menceritakan beberapa hal tentang keluarga Yani.
"Masih."
"Tapi-tapi kenapa... " Perempuan itu kembali menyerukan tangisnya. Ia menumpahkan rasa sakit hatinya dalam tangisnya.
"Aku-aku ngga pernah ngerasa dianggap, selama ini aku ngerasa nggak punya siapapun atau apapun yg bisa aku-aku sebut rumah!"
"Mereka nggak pernah benar-benar anggep aku. Seolah aku ini bukan bagian dari mereka! Aku-aku, ...."
"Lo berguna!"
"Enggak!"
"Gak usah bantah!"
"Enggak!"
"Enggak huhu...."
"Kak...."
Untuk pertama kalinya Yani mencurahkan segalanya pada Alfa. Perempuan itu terus mengoceh hingga panggilan Alfa berkali-kali pun tak didengarnya.
"Yan!"
Berangsur Yani meredakan suaranya. Ia masih terisak-isak. Namun, berhenti berbicara saat Alfa membentaknya.
"Sorry."
"Lo, huh... "
"A-apa?"
"Mungkin ini terdengar alay, tapi..." Alfa menarik napasnya. "huh...,"
" Lo boleh kok anggap gue sebagai rumah. Um, yaa Lo-Lo ngerti kan maksud gue?"
****
Rumah.
Haha.
Lelaki itu berdecih. Ia membuang putung rokoknya di asbak, lalu menandaskan kopinya yang telah dingin dari berjam-jam lalu. Sekarang pukul 3 pagi dan ia belum terlelap sama sekali.
Panggilan teleponnya masih tersambung. Hanya tersisa ia dan suara deru napas perempuan itu yang tengah terlelap.
Masih berputar di otaknya bagaimana beberapa jam yang lalu Yani memuntahkan segala pelik di hidupnya. Bagaimana perempuan itu menunjukkan tidak ada yang baik-baik saja dari dirinya.
Bagaimana selama ini sebelum bersama Alfa pun hidupnya sudah tidak tertata. Alfa mengangkat tangan, menatapnya lama. Mengingat bagaimana tangan itu pernah melukai fisik Yani berkali-kali.
Ia menghela napas panjang, ada sesuatu dalam hatinya yang teremas hingga tanpa sadar matanya memanas.
Alfa seolah turus merasakan rasa sakit yang dialami Yani, meskipun ia ingat selama ini dirinya tak kalah menyumbangkan rasa sakit yang besar.
Sialan. Ia mengumpati dirinya.
Alfa tahu dalam diri Yani pasti juga masih menyimpan kebencian yang teramat dalam padanya. Tidak mungkin Yani memaafkan dirinya begitu saja, setelah selama ini ia tidak memperlakukan Yani dengan pantas.
Yani masih manusia biasa, hatinya tidak mungkin semalaikat itu. Selama ini dirinya telah menghancurkan diri seorang perempuan yang mental dan fisiknya mamang sudah hancur.
Aaah, Alfa mengusap wajahnya.
Rasanya Alfa ingin berteriak. Ia masih tidak mengerti sampai sekarang mengapa dirinya dapat merasakan perasaan ini.
Apakah dirinya benar-benar mencintai perempuan biasa-biasa saja itu, atau hanya merasa bersalah?
Namun, kini mendengar Yani menangis pun rasanya ia ingin mendekap perempuan itu dalam pelukan, mengatakan bahwa ia ada dan semua akan baik-baik saja.
Padahal sebelumnya ia juga sumber air mata perempuan itu.
Namun, sekarang ia benar-benar ingin mendapat maaf yang tulus dari perempuan itu. Dan ia harus benar-benar mendapatkan caranya.
****
Maaf lama, dan maaf belum panjang. Pelan pelan kuusahain selesaikan cerita ini ya. Terimakasih buat yg masih simpan cerita ini. Lovee^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Marriage
RomansaMenikah dengan kakak tingkatnya yang kasar hanya karena salah paham dan kena grebek warga, bukan hal yang Aryani inginkan dalam daftar hidupnya. Note; kurang cocok untuk anak dibawah umur, karena mengandung kekerasan dan banyak kata kasar. Selamat m...