25

24.3K 1.2K 15
                                    

Tersadar dari lelap, Yani memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Ia masih berada di kamar Alfa, ia masih ingat semuanya ketika Alfa meninggalkan di tengah permainan mereka. Apakah dirinya terlalu tidak menggugah sehingga untuk melanjutkanpun Alfa enggan.

Hatinya terasa diremas, ini bukan mimpi, bukan fiksi yang dibacanya dikala sepi. Ini nyata, penolakan yang dilakukan Alfa mengoyak perasaanya. Ia merasa tidak berguna. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya, mengapa ia begitu menginginkan penyatuan mereka, padahal jelas Alfa hanya ingin mempermainkannya.

Mengusap air matanya, Yani bangkit duduk lalu merapikan pakaiannya yang berantakan, seraya mengancingkan bajunya ia kembali menangis. Mengapa ia begitu pasrah diperlukan seperti itu, seperti bukan dirinya, rasanya ingin menghajar dirinya yang bodoh itu, dadanya terasa nyeri, ini menyesakkan. "Sakit," gumamnya menggigit bibirnya kuat.

Ia turun dari ranjang, dan menyadari kamar ini terkunci ketika berusaha membuka pintu. Badannya luruh, ia memeluk lutut kembali sesenggukan.

*

Alfa kembali sore harinya sambil membawa ayam krispi dan nasi yang dibelinya di pinggir jalan tadi. Ia teringat jika Yani belum mengisi perutnya bahkan tadi pagi hanya makan sedikit sekali.

Huh, entah untuk apa ia perduli. Alfa menghela napas, lalu membuka pintu. Terasa berat, dan menyadari ternyata Yani tertidur di baliknya. "Bodoh, ada kasur malah tidur di sini."

Yani terdiam menunduk, lalu memekik ketika Alfa mengangkat tubuhnya membawanya kembali ke ranjang. Ia lekas duduk lalu menatap Alfa waspada, sembari memasang bantal di depan pangkuannya.

"Apaan sih biasa aja kali!"

"Nih, makan, jangan cuma ditatap terus," ujar Alfa menyodorkan bungkusan yang dibawanya.

Sementara Yani hanya menatap sayu, mendesis Alfa pun dengan cepat mengangsurkan bungkusan tadi ke pangkuan Yani seraya menyuruhnya segera pergi.

"Keluar-keluar, gue mau tidur," serunya sembari mengusap tengkuk.

Yani menatap Alfa sekali lagi, lalu keluar dari kamar itu. Pening di kepalanya belum sepenuhnya reda. Ia menatap makanan yang diberi Alfa, rasanya tidak bernafsu sama sekali.

Menuju dapur, ia menyimpan makanan tersebut di tudung saji, lalu meneguk segelas air, dan berlalu ke kamarnya sendiri, menelungkupkan badannya di sana.

*

Mengecek jam sudah pukul delapan malam, mengucek mata Alfa beranjak bangun. Ia berjalan menuju dapur dan menyadari Yani tidak memakan makanannya ketika membuka tudung saji.

Lelaki itu mendengkus dan langsung ke kamar Yani. Ia mengetuk pintu beberapa kali dan memanggil perempuan itu tetapi tidak ada sahutan.

"Jangan-jangan kabur lagi!"

Ia menggedor semakin keras dan beberapa saat kemudian kenop pintu itu bergerak. Yani hanya menatapnya tanpa berbicara apa-apa, matanya tampak berkunang-kunang.

Yani kembali ke ranjang duduk dengan seponyongan. Alfa lekas menyusul dan memegang keningnya. Terasa panas. Lelaki itu berdecak.

"Lo itu gampang banget ya sakit perasaan, heran gue."

"Makanya, kalau disuruh makan itu makan, ngeyel banget jadi orang!"

"Gak sadar diri kalau punya badan lemah!"

Yani hanya diam, membaringkan badan membelakangi Alfa sembari menarik napasnya yang terasa serak.

Terdengar langkah kaki terburu menjauh sebelum terdengar kembali mendekat. Yani belum mengubah posisinya.

Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang