"Udah lama nunggunya?"
Alfa mendongak, melihat perempuan yang ditunggunya berdiri di hadapannya dengan kikuk.
Yani memakai celana jeans panjang yang longgar, dan kemeja polos pendek yang dilengkapi dengan cardigan. Rambutnya dicepol, Alfa memerhatikannya memakai riasan tipis. Sekilas tidak ada yang istimewa dari tampilan sederhana perempuan itu. Setahunya Yani juga bukan perempuan modis yang pandai memadupadankan pakaian. Namun, kini, bagaimanapun penampilan Yani, Alfa menyukainya.
Perempuan itu terlihat cantik baginya, Alfa tersenyum tipis sekaligus miris. Rasanya seolah teriris bagian dalam dirinya.
"Nggak kok, nggak sampai satu jam," jawab Alfa lembut. Yani mengangguk kecil, padahal ia sudah siap menerima celotehan dari Alfa, karena terlambat dari janji yang mereka sepakati.
"Maaf, tadi ada masalah dikit di rumah," ujarnya. Alfa hanya menjawab tidak apa-apa sembari mengusap pelan pucuk kepalanya, membuat Yani merinding, merasa ada aura yang berbeda dari seorang Alfa.
"Kok ngajakin naik kereta, Kak. Motor Kak Febri nggak di rumah?" tanya Yani sembari berjalan menuju loket.
"Ada, mobilnya juga di rumah. Tapi, aku memang pengen naik kereta, vibes-nya lebih berkesan."
Yani hanya mengangguk-angguk, mengikuti Alfa ke loket. Ia hendak mengeluarkan uang untuk membayar kartu kereta miliknya, tetapi Alfa berkata,
"Hari ini aku yang traktir semuanya. Aku yang ngajak, aku yang tanggungjawab," jawab Alfa sembari menyerahkan kartu kereta untuknya."
Mendengar itu Yani mengurungkan niatnya untuk protes. Biarlah khusus hari ini ia menurut apapun yang diinginkan Alfa, selama masih batas wajar. Ia mengikuti Alfa dari belakang menuju pembatas stasiun. Namun, lelaki itu berhenti menunggu Yani, dan ketika sejajar dengannya, Alfa menggandeng tangan Yani, lalu kembali melangkah.
Yani melirik tautan tangan itu lalu mengatur napasnya. Ia sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu banyak protes, jadi ia juga harus menikmati momen ini. Yani membalas genggaman tangan Alfa. Lelaki itu tersentak pelan, lalu kembali berjalan seperti biasa.
Mereka terus bergandengan tangan sembari menunggu kereta. Dan ketika masuk, ternyata kereta sudah penuh dengan orang-orang yang hendak berangkat kerja. Mereka tidak kebagian kursi sehingga harus berdiri. Alfa masih setia menggandeng tangan Yani. Namun, tiba-tiba Alfa mengarahkan Yani ke dekat jendela, menyuruhnya berpengangan pada tiang di dekat kursi.
"Kenapa?" tanya Yani pelan.
"Di situ aja lebih aman. Aku gak mau emosi kalau sampai kamu kepegang atau kedorong meskipun itu nggak sengaja. Aku bakal tetep kesal, aku gak mau bikin kegaduhan di sini," bisik Alfa sembari berdiri di depan Yani, menutupi perempuan itu.
Yani tersenyum tipis, lalu pandangannya beralih ke luar. Menatap suasana luar dari jendela. Melihat apa saja yang dilewati. Diam-diam Alfa mengeluarkan ponsel, membidik perempuan itu. Ia akan sering melakukannya hari ini, mengabaikan momen yang mungkin tidak akan terulang lagi. Mengingat itu, Alfa tersenyum getir sembari kembali menyimpan ponselnya.
Setelah melewati beberapa gerbong, mereka akhirnya turun di stasiun Bogor. Alfa memang mengajak Yani ke kota di mana perempuan itu pernah tinggal.
Sebenarnya Yani masih merasa takut. Mengingat kecelakaan yang dialami. Namun, Alfa benar, ia ingin memulai kehidupan baru. Jadi, tidak ada salahnya menghadapi semuanya.
Alfa memesan taksi online, menuju restoran tempat Yani berkerja sebagai waiters. Mereka memutuskan makan di sana, karena pagi ini mereka juga belum sarapan. Sengaja berangkat pagi sekali, agar hari ini mereka dapat mendatangi tempat-tempat yang ingin dikunjungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Marriage
RomanceMenikah dengan kakak tingkatnya yang kasar hanya karena salah paham dan kena grebek warga, bukan hal yang Aryani inginkan dalam daftar hidupnya. Note; kurang cocok untuk anak dibawah umur, karena mengandung kekerasan dan banyak kata kasar. Selamat m...