Ekstra Chapter

32.5K 1.1K 133
                                    

Alfa Thaya Rahman.
Sarjana Ekonomi.
IPK 3,01.
Predikat memuaskan.

Febri mengusap matanya yang berair. Ia memeluk ibunya yang duduk di sampingnya. Tidak menyangka hari ini datang juga. Ia dapat duduk di sini bersama ibunya, melihat adiknya yang tengah diwisuda. Saat tali di toga Alfa berpindah posisi, perasaan haru itu tidak bisa dibendungnya.

"Pa, lihat Alfa wisuda. Dia udah berhasil wujudin keinginan kita semua untuk melihatnya lulus. Papa lihat kan, dia udah berubah. Semoga tetap begitu. Febri bakal support apapun niat baik anak itu," ujar Febri dalam hati. Ia menggenggam erat tangan ibunya.

Meski Alfa terlambat wisuda bersama adik tingkat di bawahnya, tetapi Febri tetap bangga. Tidak sia-sia usahanya, dan tentunya tidak sia-sia usaha Alfa untuk lulus. Berkat support banyak pihak termasuk,

Yani.

Febri tersenyum tipis mengingat itu. Ia mengacungkan jempolnya ke arah Alfa, terlalu senang.

Alfa memutari kursi ke belakang, menoleh tersenyum singkat ke arahnya, lalu kembali ke barisan.

Tidak terasa acara demi acara telah terlewati. Dekan dan rombongannya juga telah meninggalkan room hotel yang disulap menjadi tempat wisuda itu. Tinggal para wisudawan yang kemudian berhambur menghampiri keluarga masing-masing.

Alfa memeluk ibunya yang dibalas pelukan erat dan ucapan selamat. "Mama bangga sama kamu! Bangga banget. Makasih ya!"

Dan kalimat itu membuat jantung berpacu. Alfa ... bahagia. Ia mengusap matanya. Tidak mau ketahuan akan menangis.

Pengakuan seperti itu. Kalimat semacam itu yang selalu ingin Alfa dengar sejak dulu. Ia selalu iri pada Febri yang selalu mendapatkan itu. Meski kini Alfa tahu pemikirannya tersebut salah. Jika ia ingin mendapat penghargaan, maka ia juga harus berusaha keras untuk mendapatkannya.

"Makasih, Ma," jawabnya lalu beralih menatap Febri.

"Makasih Kak."

"Lah, Lo nggak mau peluk gue?"

Alfa masih terdiam. Ia ingin sekali, tapi sedikit gengsi. Ah, mengapa susah sekali menghilangkan sifat itu darinya.

Namun, sebelum ia menanggalkan gengsi tersebut, Febri sudah lebih dulu menarik adiknya itu dalam pelukan. "Sama-sama, gue juga bangga sama Lo!" serunya, menepuk-nepuk pundak Alfa

Perlahan tangan Alfa bergerak lalu memeluk Febri sama eratnya. Sekali lagi, ia harus menahan diri untuk tidak menangis. Jangan sampai ketahuan cengeng seperti Febri.

"Dek."

"Hm?"

"Lo nggak undang Yani?"

"Hmm..." Alfa terdiam, lalu menggeleng pelan.

"Hei, aku udah berhasil nepati janji. Makasih. Kamu baik-baik aja kan, maaf ya nggak ngundang. Padahal kamu termasuk orang yang pengen banget lihat aku di posisi sekarang. Tapi, gak apa-apa, aku udah nepati janji terakhir aku. Dan dengar-dengar kamu udah balik kuliah lagi, ya. Selamat dan semangat! Semoga kamu bisa segera wisuda kek aku sekarang."

Febri yang melihat raut wajah Alfa berubah, segera merangkul lelaki itu. "Ah, enggak-enggak, maaf gue salah tanya tadi. Mama sama gue udah cukup kok. Kan selain mama, gue adalah orang yang paling Lo sayang, yakan." Febri menarik naikkan alisnya, tersenyum.

Alfa menatapnya sinis, Febri terkekeh.

"Pede gila Lo, kak."

"Lah, bener kan?"

"Ya, iya kali."

"Dih, malu-malu." Febri merangkul leher Alfa, sementara tangan satunya menggandeng ibunya, mengajak mereka keluar ruangan itu.

Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang