14.

22K 1.2K 28
                                    

Menghela napas, Yani menatap rumah bercat biru itu. Sudah sebulan lebih ia tidak mengunjungi rumah ini. Tiba-tiba rasa takut menyambut. Ia tidak yakin akan diterima baik di rumah ini kembali. Ia masih terdiam duduk di boncengan Ifan, sampai suara lelaki itu membuyarkan lamunannya.

"Jadi?"

Yani mengangguk. Lagipula ini sudah kepalang basah, tidak mungkin ia putar arah. Namun, tangannya terasa dingin, ia benar-benar gugup sekarang.

"Aku cariin kos aja, ya?" tanya Ifan cemas. Yani menggeleng.

"Udah enggak apa-apa, Fan. Makasih banyak, ya," jawabnya turun dari motor Ifan.

"Mau aku anterin masuk?"

Perempuan itu kembali menggeleng. Ia tidak mau menambah masalah pada Ifan. Sudah cukup lelaki baik itu membantunya hari ini. Ia tidak mau Ifan makin terbebani, meski ia sadar sudah membebani Ifan.

"Ntar kalo kamu udah siap kembali kuliah aku jemput, ya?"

"Fan, enggak usah. Lagipula ntar kamu jadi muter arah."

"Enggak apa-apa, Yan."

"Fan ...."

"Yan ...,"

"Tolong jangan nolak."

Yani hanya menghela napas tanpa menjawab. Lelaki itu tersenyum, mengusap rambutnya, sebelum motornya hilang dari pandangan. Yani kembali menghela napas berat, lalu perlahan kakinya melangkah menuju rumah.

Ada keraguan amat besar yang ia rasakan. Juga ketakutan akan dugaan buruk yang ia pikirkan. Tentu Yani masih ingat perlakuan terakhir ayahnya sebelum mengusirnya hari itu. Yang membuatnya harus memohon-mohon tinggal bersama Alfa yang kini justru menjadi bumerang untuknya.

Tok-tok-tok. Dengan gemetar tangannya mengetuk pintu. Ia menggigit bibir bawah cemas. Ia sungguh berharap bukan ayahnya yang membuka pintu, sehingga ia bisa sedikit bernapas lega.

Namun, itu hanya angan. Pria itu yang membuka pintu dan langsung melebarkan matanya. Tidak sampai hitungan ke tiga, bentakan itu sudah nyaring di telinganya.

"Ngapain kamu pulang?!"

Yani menahan diri untuk tidak menangis. Bahkan ayahnya tidak bertanya bagaimana kabarnya, tetapi langsung menyerbu dengan suara mautnya.

"Yah ...." Yani berusaha meraih tangan pria itu untuk disalami, tetapi tangannya ditampik. Mengapa pria-pria terdekatnya begitu tidak berperasaan padanya, batin Yani sembari meneteskan cairan di pipi.

"Saya udah bilang waktu itu, gak usah kembali ke rumah ini. Dasar anak gabisa diatur, gatau diri!"

Badan Yani merosot, berlutut di kaki ayahnya. "Aku mohon, Yah. Terima aku kembali. Aku minta maaf kalau sebagai anak aku gatau diri," ujarnya merintih.

Pria bernama Dendi itu menarik kakinya paksa, hingga membuat Yani hampir tersungkur. Sebelum kata kasarnya kembali terlontar, langkah tergesa dari belakang menghentikannya.

"Ada apa ini ribut-ribut?"

Itu ibunya. Yani tersenyum, mengusap pipinya, lantas bangkit memeluk wanita itu. Ia kangen sekali. "Ibu, Yani kangen ibu!"

Dada Tasri menghentak. Ia ingin membalas dekapan itu. Namun, ia segera menetralisir keadaan dengan mengurai pelukan anak perempuannya tersebut.

"Yan, kamu pulang?"

Ia melirik suaminya yang sudah memasang mata tajamnya. Namun, ia berusaha meredam itu dengan mengajak semuanya masuk dengan dalil tidak enak didengar tetangga jika ribut di luar.

Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang