Tidak ada yang tahu jika lelaki itu diam-diam juga menangis. Ia membawa kabur air matanya pergi. Tidak ingin kakak dan ibunya tahu jika dirinya juga serapuh itu.
Apa yang dikatakan Febri benar, ia mengakuinya. Dirinya sepecundang itu, hanya memikirkan diri sendiri, tidak perduli apapun soal keluarga. Namun, Alfa lebih memilih menutupi rasa bersalah itu dengan gengsinya.
Ternyata ia masih manusia, masih mampu merasakan iba melihat ibu dan kakaknya tersedu di hadapannya. Tidak ingin terlihat lemah, ia memilih menghindar, mencari tempat lebih sepi untuk menyalahkan diri.
"Bodoh Lo, Fa. Goblok, tolol. Gak berguna!" umpatnya seraya memukul kepala.
Ia mengusapi air matanya yang luruh, berusaha menanggalkan bukti-bukti keputusasaan itu. Jangankan orang lain, ia saja sangat membenci dirinya sendiri.
Ia kembali memaki dan memukuli dirinya, berharap itu dapat meringankan perasaannya.
Setelah dirasa sudah cukup menghilangkan bekas-bekas tangis di wajahnya, Alfa kembali ke rumah. Ia melihat Febri tengah duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Febri melirik sebentar, lalu kembali menekuri benda pipih di tangannya.
Alfa memandangnya datar, rasa iba yang sempat tercipta berkurang mengingat bagaimana membawa Yani hari itu. Rasa bersalah dan kemarahan bercampur jadi satu. Ia ingin sekali tahu kabar Yani, tetapi Febri masih saja menutup-nutupi. Membuat Alfa tidak bisa membendung kecurigaannya.
Alfa kembali duduk di samping Febri, lelaki itu meliriknya sebentar, hendak meninggalkan tempat, tetapi Alfa mencegah.
"Mau apa lagi? Kalau mau ribut jangan di rumah, aku gak mau lihat Mama nangis lagi," lirihnya, mengembuskan napas.
"Engga," jawab Alfa, menariknya duduk.
"Kak."
"Iya?"
".... Gue pengen tau kabar Yani," ujarnya pelan, menunduk.
Febri menghela napas, mengalihkan tatapan. Beberapa saat kemudian, kembali menolehkan pandangan. "Kenapa?"
Alfa mendongak, menggeleng. "Ngga tau."
"Kamu sayang sama dia?"
Sayang?
"Ngga tau."
"Kalau kamu aja gak tau tentang perasaanmu sendiri, lebih baik kamu gak usah mencari tau tentang dia."
"Gue pengen tau."
"Kenapa pengen tau?"
Alfa terdiam, berusaha menahan diri. Energinya sudah terkuras, dan ia tidak berminat untuk meledak-ledak, tetapi Febri terlalu banyak bicara. Tetapi kali ini kakaknya benar, ia juga ingin melihat ibunya menangis lagi.
"Cari tau dulu alasannya, baru kukasih tau."
Febri hendak beranjak, tetapi Alfa kembali mencegah. "... gue, gue kangen sama dia."
****
Sudah seminggu lebih ia tinggal bersama ibu dan kakaknya. Ia sangat bosan karena sudah tidak meneguk minuman haram bersama teman-temannya.
Ia tidak bisa pulang dalam keadaan mabuk, seperti yang biasa dilakukan di kontrakan. Febri juga menyebalkan, tidak sama sekali tergugah untuk memberinya uang dan membiarkannya bebas berkeliaran, sehingga ia harus tinggal di sini untuk waktu yang tidak ditentukan.
Sampai hari ini pun, Febri tidak mudah untuk ditangani, ia belum memberi tahu soal Yani. Febri tidak mempercayai ucapan buaya seperti Alfa. Dia kukuh menyuruh Alfa menunjukkan tanggungjawabnya. Memintanya untuk berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Marriage
RomanceMenikah dengan kakak tingkatnya yang kasar hanya karena salah paham dan kena grebek warga, bukan hal yang Aryani inginkan dalam daftar hidupnya. Note; kurang cocok untuk anak dibawah umur, karena mengandung kekerasan dan banyak kata kasar. Selamat m...