35

22.7K 1.3K 59
                                    

Keluar dari swalayan, Yani berjalan menuju kost yang berjarak sekitar setengah kilo meter. Ia usai berbelanja kebutuhan pokok seperti sabun dan odol yang telah menipis. Ia juga membeli sayuran dan ikan kaleng untuk dimasak besok. Mumpung libur kerja, Yani sengaja memasak karena selama ini lebih banyak membeli makan di luar.

Langit mulai menggelap, Yani mempercepat langkah. Ia ingin segera rebahan di kamar sambil menyetel musik favoritnya. Namun, dari arah belakang ia merasa ada yang mengikuti. Sebentar-sebentar ia menoleh, dan semakin mempercepat langkahnya. Ia paling tidak suka diamati.

Namun, derap langkah itu semakin terasa dekat. Benar saja, saat berbalik ia sudah menabrak bahu seseorang. Ia mendongak lalu mendengus, seharusnya dirinya sudah tahu. Siapa lagi orang yang iseng mengikutinya selain Alfa.

"Kak," keluhnya, mencebikkan bibir. Lelaki yang memakai hoodie abu-abu dengan penutup di kepala itu hanya memiringkan senyum sembari melipat tangan.

"Hem?"

"Ck. Udah kubilang jangan ngikuti diam-diam. Creepy tau kak diikuti begini."

Alfa hanya memicingkan bibir. "Gue ngga diam-diam, tapi masa iya gue harus bikin pengumuman."

"Ish, kapan sih Kakak pulang ke Jakarta? Kakak udah lama loh di sini, emangnya kak Febri kirim uang terus?"

"Jadi, Lo mau bilang gue selalu bergantung duit sama kakak gue?"

"Emang enggak?"

"Yaiya sih ...., tapi gue bakal kerja kok, pasti. Iya, pasti," kilahnya.

"Kalau kakak ikuti aku terus gimana bisa cari kerja?"

"Emang kalau gue udah kerja Lo mau sama gue gitu?"

"Ya, kan buat diri kakak sendiri. Biar gak terus bergantung sama keluarga."

"Jadi maksud Lo gue beban keluarga?"

Berbicara sama Alfa memang rentang salah paham. Alfa tidak sebaik itu untuk mengambil makna positif dari ucapan seseorang.

"Kalau kenyataannya gitu, aku harus menghibur dengan kalimat apa?"

Alfa berdecih, menatapnya sinis. Yani menggeleng meneruskan langkah, Alfa masih mengikuti. Perempuan itu berbalik, menghentak kesal.

"Kak!"

"Paan?"

"Jangan ngikutin!"

"Kaki kaki gue, terserah dong."

Yani berdecak, berbalik kembali melangkah dengan kesal. Alfa seperti seorang stalker gila, tetapi lelaki itu seperti tanpa dosa. Padahal kelakuannya itu sangat meresahkan. Setengah berlari, Alfa kembali menjajarkan langkah dengan Yani.

"Gue kayaknya udah lama ngga makan masakan Lo deh," ujarnya menurunkan pandangan ke kantong belanjaan yang dipegang Yani. "Kayaknya bakal sopan kalau Lo masakin gue hari ini, itung-itung sebagai sambutan karena gue udah jauh-jauh datang ke sini."

"Aku ngga minta kakak datang ke sini," jawabnya tanpa menoleh.

"Ya memang enggak, tapi kan menghargai tamu bukan hal yang berdosa."

"Kakak bukan tamu aku."

Alfa menahan kesal lalu menarik tangan Yani, menghentikan langkah perempuan itu. "Yaudah, gue beli sendiri bahan masakannya, tapi Lo harus mau masakin."

"Di sini banyak restoran enak, Kak. Masakan aku jelas di bawah standarnya," jawab Yani berusaha melepas pegangan Alfa, kemudian kembali berjalan meninggalkan Alfa.

Tidak menyerah, Alfa terus mengikuti hingga depan gerbang kost. "Gue tetep pengen makan masakan Lo, titik."

"Katanya mau berubah, tapi kakak masih suka maksa."

Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang