3

35.9K 1.9K 70
                                    

"Lo beneran enggak ada duit, Yan?"

Alfa bertanya sembari mengembuskan rokoknya. Orangtuanya belum juga transfer uang, dan jika begini terus bisa-bisa mereka mati kelaparan.

"Enggak, Kak."

"Terus gimana? Lo mau makan batu?"

Yani hanya terdiam. Jawab pun akan tetap salah di mata Alfa. Sesekali ia menghalau asap yang terhirup di hidungnya. Yani tidak terlalu kuat asap, tetapi tidak punya keberanian untuk melarang Alfa.

"Lo mending pulang ke rumah orangtua Lo terus minta duit."

"Enggak mau, Kak. Ayah enggak ngijinin aku pulang."

"Jadi, Lo mau selamanya numpang idup gitu sama gue? Enak banget hidup Lo. Lo pikir gue panti!"

"Aku kan is--

Lelaki itu langsung memelototinya, membuat Yani tidak jadi meneruskan ucapannya.

"Kalau masih mau tinggal di sini, ya Lo kerja kek. Jangan mau enaknya doang. Lo pikir gue ngontrak bayarnya pake daun."

Yani menghela napas. "Aku enggak tau kerja apa, kak."

Menatap tajam, Alfa membentak Yani. "Ya usaha dong, Lo cari kerja kek, atau bila perlu ngelonte sana!"

Krek

Mencelos Yani menatap Alfa. Tidak menyangka, kalimat itu yang keluar dari mulut lelaki itu. Matanya terasa panas, dadanya terasa seperti ditikam. Alfa benar-benar keterlaluan.

"Aku emang jelek, dan cuma bisa nyusahin. Tapi aku masih punya harga diri. Jangan mentang-mentang aku diam, kakak bisa seenaknya!"

"Terus Lo mau apa? Pergi? Silakan! Emang gue pikirin!"

Bangkit dari duduk, Yani langsung mengambil tasnya lalu pergi dengan hati terberai.

**

Perempuan itu menelungkupkan kepala di meja perpus. Kelas baru saja selesai, tetapi Yani tidak bisa fokus. Ia terus terngiang ucapan Alfa tadi pagi.

Rasanya ia masih ingin berteriak. Ingin memukuli diri sendiri, tetapi tidak enak pada penjaga perpus yang sesekali mengamati pergerakannya yang tidak wajar. Hanya perpus, tempat yang bisa memenangkannya sejenak.

Yani tidak ingin pulang. Ia tidak mau bertemu Alfa. Tetapi bingung harus bersembunyi di mana. Sudah tidak ada tempat untuknya pulang. Keluarganya pun sudah enggak melihat batang hidungnya.

Sebegini hancurnya kah hidupnya. Jika bisa memilih, Yani tidak ingin dilahirkan di dunia ini.

***

Keluar dari mushola, Yani terlantung bingung mau pergi ke mana. Mending kalau punya uang, semuanya pasti akan mudah. Tapi, jangankan menyewa penginapan, untuk makan nanti saja, Yani bingung.

"Yan!"

Suara lembut itu menyapa gendang telinganya. Ternyata Pita, satu-satunya teman yang baik dengannya di kelas. Perempuan berkerudung abu-abu itu tersenyum menghampiri Yani, dia juga baru keluar dari mushola.

"Iya, Pit?"

"Kamu kok kayaknya murung sih? Kenapa? Ada masalah?"

Hidupku ini memang masalah, Pit. Yani ingin menjawab seperti itu, tetapi hanya tertahan di tenggorokan. "Enggak ada kok, Pit, hehe."

Pita hanya mengangguk. Ia tahu Yani sedang tidak baik-baik saja. Temannya itu sering sekali dibully di kelas. Tambah parah ketika kabar terbarunya membuat Yani dicap perempuan murahan.

"Main yuk ke rumahku," ajak Pita, tersenyum.

"Eh," Yani menggigit bibirnya. Ia memang beberapa kali main ke rumah Pita. Ia juga cukup akrab dengan mama Pita. Apa mungkin ini jalan untuknya hari ini.

Yani masuk ke mobil Pita menuju rumah perempuan itu. Pita anak orang kaya. Tetapi, perempuan cantik itu sangat baik dan tidak pilih-pilih teman. Bahkan disaat semua orang membencinya pun, Pita tetap baik.

Turun dari mobil, Yani langsung diajak Pita ke kamarnya. Nuansa pink hello Kitty selalu membuat Yani betah berada di kamar Pita. Dalam hati, ia juga sangat ingin punya kehidupan seperti Pita.

****

Tertunduk, Yani hanya bisa menahan tangis saat mama Pita, menyuruh Yani menjauhi anaknya.

"Awalnya saya kira kamu perempuan baik, Yani. Perempuan polos. Saya sempet kasihan sama kamu. Tapi ternyata? Saya sudah dengar kabar tentang kamu, saya harap kamu enggak usah berteman lagi sama Pita. Enggak usah ke sini. Bawa dampak buruk aja."

Yani mengangguk.

Kembali ke kamar Pita, Yani pun berpamitan. Pita bingung, ia langsung menanyakan alasan Yani.

"Yan, tadi katanya mau nginep. Aku mau ngajak kamu maskeran bareng loh. Ini juga udah malam, mau ujan juga. Mending besok aja ya pulangnya."

"Enggak, Pit. Tadi suami aku nyariin, suruh aku pulang."

Padahal hp nya dimatikan. Dan kalau pun on, Yani tidak Yakin Alfa akan mencarinya. Palingan lelaki itu kesenangan jika ia tidak pulang.

"Yaudah, kalau gitu aku anterin yaa."

"Oh, gak usah Pit. Lagipula kamu kan juga enggak boleh keluar malam."

"Enggak apa-apa, Yan. Tadi kan aku yang ngajak, jadi aku juga yang kudu pulangin."

"Enggak usah, Pit. Enggak usah. Tadi aku persen ojek online, kok."

Bohong.

****

Sampai part ini aku belum menemukan komen, tidak ada yang mau komen tah.. (?)

 (?)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Toxic MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang