3. Tunggu Sebentar Lagi

3.6K 456 13
                                    

Aku pernah mendengar bahwa perasaan akan tumbuh akibat seringnya interaksi yang tercipta.

Begitupun denganku.

Aku semakin kagum dengan Eric yang begitu baik dan perhatian. Ohh... Apakah aku mulai menyukainya?

Entahlah... Namun aku merasa begitu nyaman saat dengannya.

Selain itu dia juga tidak memberikan pengaruh buruk padaku hingga berpengaruh pada nilai ku.

Aku pun takjub dengan bagaimana dia membagi waktu antara sekolah dan bermain.

Karena lelaki itu terlihat seperti tak memperdulikan sekolah namun selalu memiliki hasil yang baik.

Kami tengah berjalan bedampingan keluar dari ruangan Mr. Ellard. Ya, hari ini adalah penilaian untuk tugas proyek kami. Dan aku cukup khawatir dengan hasilnya disaat Mr. Ellard tampak tidak memberikan banyak masukan.

"Aku penasaran dengan nilai kita..." Ucapku disela-sela langkah kami.

"Yang pasti kita mendapatkan hasil yang baik, By..." Balas Eric penuh dengan percaya diri.

Bibirku berdecak kecil. "Bagaimana kau bisa yakin seperti itu, kita semua tau bahwa Mr. Ellard tidak mudah memberikan nilai yang bagus" Sanggah ku terhadap pendapatnya.

Namun setelahnya aku sedikit terperanjak ketika telapak tanganku merasakan sesuatu disana. Mataku melirik turun dan melihat bahwa Eric tengah menggenggam tanganku.

Dadaku terasa berdetak cepat. Ohh apa ini? Mengapa aku menjadi gugup seperti ini?

"Ehmm.. Itu... tangan--"

"Kau tidak perlu takut, By... Kau melihat sendiri bagaimana Mr. Ellard yang tidak memberikan banyak kritik. Jadi aku cukup yakin dengan hasilnya nanti" Ucap Eric menenangkan Ruby.

Tanpa ku duga Eric menghentikan langkah membuatku melakukan hal yang sama.

"Ada apa Ric..?" Tanyaku sembari memperhatikan tangannya yang tak kunjung melepaskan genggaman.

"Kau sabtu besok ada acara?" Eric menjawab pertanyaan gadis itu dengan pertanyaan lain.

Aku diam sebentar untuk berpikir. "Sepertinya tidak ada... Memang kenapa?" Ujarku penasaran.

"Aku ingin mengajakmu menonton film, kebetulan ada film bagus yang baru saja rilis"

"Ehmm... Aku tidak tau Ric, aku perlu bertanya pada ibu terlebih dulu... " Balasku tak yakin.

"Tidak apa, jika perlu aku yang akan memintakan ijin pada ibumu, By... Jadi kau tak perlu takut... " Ujar Eric semakin membuat pipi sang perempuan bersemu merah.

***

Eric memang tak salah dalam memilih film. Film itu memiliki alur kisah yang sangat bagus. Aku bahkan sampai mengeluarkan air mata melihat kisah tokoh utama yang sangat menyentuh dan menyakitkan.

"Hei berhentilah terisak seperti itu, filmnya sudah selesai beberapa menit yang lalu.." Ucap Eric yang menggoda sang perempuan dan mendapatkan lirikan tajam.

Kami tengah berjalan keluar dari area bioskop dengan perasaan campur aduk yang menderaku.

"Ini karena mu. Kau yang membuatku menangis seperti ini Eric..." Balasku menyalahkannya.

"Kenapa aku yang salah... Kau menangis karena filmnya Ruby..." Jelas lelaki itu mengingatkan.

"Tapi kau yang mengajakku melihatnya, Ric..." Balasku tak mau kalah.

"Baiklah-baiklah.... Itu salahku..." Eric menyerah untuk mengakhiri perdebatan. "Dan untuk menebusnya, bagaimana jika kau ikut aku pergi ke-- suatu tempat?"

"Kemana...?"

"Sudahlah... Ikut saja. Kau akan mengetahuinya nanti..." Ajak Eric lalu menggeretku mengikuti langkahnya.

***

Dan disinilah kami sekarang. Taman kota dengan pemandangan lampu-lampu yang bercahaya menambah indahnya malam.

Tak hanya itu, alunan musik yang berasal dari seorang pemuda dengan gitar ditangan membuat suasana semakin menenangkan.

"Kau suka...?" Tanya Eric yang melihatku terkagum.

"Aku--tidak menyangka jika taman kota dapat seindah ini, Ric..." Ucapku dengan tetap menikmati pemandangan malam yang indah.

"Syukurlah jika seperti itu, berarti usahaku tidak sia-sia..."

Perkataan Eric membuatku seketika menghadap kearahnya.

"Maksudmu...?" Ucapku penuh tanya.

Eric yang semula memandang lurus, kini ikut berbalik. Dia menatapku lekat dan sarat akan makna.

Sebuah senyum manis terlukis di wajahnya. "Apa kau tidak menyadarinya selama ini, By...?"

"Menyadari apa, Ric..?"

"Perasaanku..."

Aku terdiam ditempatku. Bibirku terbuka namun tak bisa mengatakan sepatah apapun..

"Aku menyukaimu, Ruby... Aku sudah lama tertarik padamu..."

Sementara itu, pikiranku masih sibuk mencerna apa yang kudengar baru saja. Terlalu banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Dari pertanyaan apa hingga mengapa.

"Tapi, Ric... Bagaimana bisa kau menyukaiku..." Tanyaku karena aku tak tau apa yang dilihatnya dariku.

Lelaki itu mendekat lalu mengulurkan lengannya untuk mengelus rambutku dan menyelipkannya pada telingaku.

"Tidak semua hal butuh alasan, Ruby... Apalagi ketika hal itu menyangkut mengenai hati. Dia tau apa yang diinginkan tanpa memiliki alasan yang mendasari. Ketika dia bergetar maka disitu dia telah memilih..."

Aku kagum dengan ucapannya. Terdengar lembut dan mendamaikan hatiku.

"Jadi Ruby Carlette... Apakah kau mau menjadi kekasihku...?"

Kali ini tanpa berpikir panjang aku mengangguk malu. Ku tundukkan wajahku untuk menutupi semburat merah dikedua pipiku.

Namun aku mendengar kekehan kecil darinya. Jari telunjuknya mengangkat daguku untuk mendongak menatapnya.

"Kah semakn lucu jika tersipu seperti itu, sayang..."

Ya Tuhan, selamatkan aku...

Sepertinya sekarang pipiku berubah sangat merah seperti kepiting rebus mendengarnya yang memanggilku dengan sebutan sayang.

Kami saling menatap, mengunci pandangan satu sama lain. Hingga perlahan Eric memangkas jarak diantara kami. Meninggalkan setipis angin yang membentang tubuhku dan miliknya.

Dan selanjutnya aku merasakan sebuah lengan melingkari diriku. Eric membawaku kedalam pelukannya. Terasa begitu nyaman dan hangat ketika Eric memelukku dengan begitu lembut.

Kami berada diposisi itu cukup lama dengan menikmati getaran yang terjadi di kedua jantung kami yang berdetak tak karuan.

Dan suara letusan kembang api menjadi saksi bagaimana kami berdua tengah terbakar dengan perasaan yang tumbuh dihati masing-masing.

Sayangnya tak ada yang tau bagaimana hidup akan berjalan. Tak ada yang tau sampai kapan kebahagiaan akan berlangsung, dan kapan basib buruk akan menimpa.

Karena kini, seorang lelaki yang melepas penutup wajahnya dengan kasar tengah menatap pemandangan didepannya dengan mata yang berkilat marah. Kedua tangannya mengepal erat.

Ada emosi yang membuncah ketika melihat apa yang menjadi miliknya malah berusaha lepas dan mengkhianati ucapannya.

Hingga sebuah seringaian bengis dan tatapan menghancurkan diberikannya.

"Nikmati waktumu, kitten... Tunggu sebentar lagi hingga aku datang dan kau tak lagi bisa melihat lelaki lain... "

Lelaki itu berucap dengan suara dingin dan dalamnya. Hingga siapapun yang mendengar akan bergidik ngeri.

RESTRAIN (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang