Kembalinya gue dan Zalya di kantor langsung dihadapkan dengan rapat internal dadakan. Permasalahannya bukan karena kami yang datang terlambat, melainkan pembahasan rapat tentang workshop yang juga sedang diadakan di luar kota. Pelaksanaannya tepat dua minggu sebelum diadakan berikutnya di Jakarta.
"Palembang?"
"Iya, Palembang. Gue beneran minta maaf ke semuanya karena ini terkesan dadakan banget."
"Di surat mandat penugasannya cuma disuruh liputan dan ngawasin yang di daerah doang sih. Jadi lo dan Brian gak perlu repot-repot untuk cari peserta, promosi dan sebagainya. Itu udah diatur sama pihak sananya. Acaranya dua hari lagi. Jadi nanti malam kalian dateng, besok paginya technical meeting dan lusanya persiapan lokasi. Gimana?"
Menurut penjelasan Sandi, workshop ini udah berjalan dari awal bulan kemarin di berbagai daerah. Nah gak tahu kenapa tiba-tiba orang pusat dimintai tolong untuk bantu handle mereka selama acara berlangsung nanti. Kebetulan, beberapa dari panitianya ada yang mundur. Mereka gak sempat mencari pengganti karena waktunya yang udah gak keburu.
Lebih parahnya lagi Yayan udah tahu soal ini dari tadi pagi. Jadi orang kantor gak ada kasih kabar ke gue ataupun Zalya selama masih liputan.
"Tapi kan Jen Senin besok cuti, Pak." ujar Yayan.
"Ya Tuhan. Iya ya? Kok gue bisa lupa sih?" merasa bersalah banget dia.
"Ehm. Jadi bagaimana, bapak? Mohon keadilannya untuk saya. Hehe." senyum tipis gue mengembang dan berharap izin cuti gue kali ini gak dibatalin lagi hanya karena agenda dadakan ini. Gak! Gue gak mau!
Sebetulnya gue udah mengajukan rencana cuti dari lama banget. Sejak sebelum Brian sakit sampai terpaksa dia mengambil cuti tahunan untuk recovery-nya. Biarpun porsi makannya banyak, ternyata itu gak mempengaruhi rasa sakit yang awalnya demam biasa dan berujung sakit tipes sampai dirawat di RS selama beberapa hari. Rubah Gembul bisa tumbang juga ternyata.
Sedangkan kantor gak bisa ditinggal kalo anak buahnya off secara bersamaan. Jadi dengan terpaksa gue harus mengalah untuk menunda ambil cuti. Barulah di awal bulan ini berhasil di-approve sama Sandi.
"Pengganti Jen siapa dong kalo gitu?" pasrahnya melempar, gak tahu harus menyuruh siapa lagi.
Wah, dari sini mulai terlihat tanda-tanda kalo Sandi tetap pertahanin jadwal cuti gue. Duh mantap sekali bosqu.
"Dewan?" usul Yayan.
"Mas Yan, Anda becanda? Coba sesekali tengok ke ruangan gue. Lihat berkas tugas menumpuk udah kayak lautan membentang samudera." seriusnya Dewan menolak dengan hiperbolanya.
"Apa gue aja?" saat ini gue mendengar pengajuan dirinya yang keluar dari mulut Pak Keprad.
Lantas kami semua menolaknya, siapa yang mau radionya terbengkalai di sini kalo kepala radio dan asistennya karena sibuk dinas sampai dua minggu di luar kota?
"Yayan kalo bisa jangan sendirian, dia harus ada temennya. Gak mungkin dong pas waktunya lagi diskusi terus dia sambil moto-motoin acaranya. Coba usul dari lo Jen."
Gue berpendapat, "Kalo gue sih maunya mereka biar rekrutin orang lain aja. Atau tarik anak magangnya yang di sana lah. Masa gak ada sama sekali sih?"
"Nah iya tuh bener." Yayan ikutan sepakat.
"Eh tapi kalo anak magang juga bisa diajak, kenapa gak ajak Zalya aja?" tambahnya memberikan usul.
"Gue, Mas?" terkejutnya saat disebut namanya.
"Iyalah, emang siapa lagi nama Zalya selain elo? Lo masih ada sisa berapa hari?"
Dewan memotong, "Mas pertanyaan lo nyeremin anjir." merindingnya mengusap-usap kedua lengannya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/248578740-288-k80776.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...