Note : Akan ada sedikit flashback dari chapter 23 "The Future", yang Arina ketemu Mas Jen di Polres. Bedanya di sini ditambahin dikit pas Mas Jen ketemu Wawan. Isi percakapannya juga beda.
Happy reading!
-----------------------------------------------------------
"BANG JEN!" sebuah teriakan kencang seorang laki-laki terdengar di area polres. Merasa terpanggil, gue mencari sumber suara tersebut dengan menoleh kiri kanan sampe dilihatin orang-orang. Kayaknya mereka sadar kalo yang dipanggil itu nama gue.
"Bang Jen!" suaranya semakin mendekat disertai langkahnya yang tergopoh-gopoh. Senyuman riang khasnya menghiasi wajahnya bikin gue sedikit geli.
"Lo kalo manggil bisa gak sih pelan aja? Kayak lagi ngejar maling lo." judes gue melihatnya menunduk dengan memegang lututnya.
"Hehe! Bang Jen, apa kabar? Wawan Ka...ngen!!!"
"WAN! Ini tempat umum! Jangan peluk gue!" badan kecilnya bergerak memeluk sengaja dan menepuk-nepuk punggung. Baru setelahnya gue lepas secara paksa, ia hanya terkekeh dihiasi sudut kedua matanya yang mengerut. Kebiasaan tiap kali ketemu selalu begini.
Setelah mengantar Zalya pulang, kini gue berada di tempat "nongkrong"-nya Wawan, di Polres. Ia adalah alumni intern radio tahun 2017, yang pernah jadi penyiar di Radio. Tampilannya berubah drastis, bukan kayak Wawan yang biasanya hanya mengenakan kemeja biasa dengan dobelan kaos oblong dan celana hitam yang sering dipakai saat magang. Tuntutan pekerjaan sebagai reporter membuatnya terbiasa mengenakan pakaian dinas lapangan berwarna navy plus celana berwarna cokelat terang sebagai identitas khas dari media tempat ia bekerja. ID card-nya menggantung di leher berwarna merah terang berlogo "NewsdayTV".
"Gak sibuk lo, Wan?" tanya gue seraya mengulurkan bingkisan undangan yang dititip Sandi.
Tangan kanannya membawa sebuah botol Akua lalu dijepit di ketiak sebentar untuk menerima bingkisan tersebut, "Makasih. Baru nyampek, Bang. Abis absen dulu tadi di kantor." ujarnya terus tersenyum. Lalu diajaknya pergi ke sebuah kantin yang letaknya beberapa meter dari titik kami bertemu.
"Udah kelar sidangnya?" tanyanya berjalan sambil menahan tawa.
Menunjukkan STNK dihadapannya, "Ck. Seneng lo liat gue ke sini?"
"Seneng lah. Kayaknya lo emang harus ditilang dulu biar ketemu gua di sini, Bang. Haha." kalimat Wawan ini sebenarnya mengandung sarkastik. Karena semenjak dia kerja as reporter gue dan anak-anak radio gak pernah datang ke untuk sekedar menemuinya.
Kantin Polres yang kami sambangi tempatnya lumayan luas dan cukup bersih. Terdapat beberapa meja dan kursi yang ditata layaknya rumah makan yang biasa dijumpai. Gue dan Wawan menemukan satu tempat meja kosong dan duduk saling berhadapan. Di atas meja tersedia macam-macam gorengan yang ditutup dengan lembaran koran, juga satu toples kaca besar berisi kacang atom kemasan kecil.
Wawan sibuk membuka bingkisan Sandi saking gak sabaran, "Loh kok Wawantara? Duh, siapa sih yang nulisin namanya di undangan? Salah nih, masa namanya jadi Wawantara?" protesnya tanda gak suka.
"Tau tuh, mantan Bos lo. Nama gue juga typo." singkat gue menanggapi.
"Emang jadi apa? Kalo disingkat bukannya bagus? Jenderal PE-A." ledeknya.
"Bangke. Sengaja lo ya?"
Dia tertawa puas, "Jokes lama, tapi gue masih ngakakin nama lo Bang kalo disingkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Fiksi Umum[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...