Jenderal POV
Langit mendung Ibukota Jakarta menyambut saat perjalanan gue pulang dari kantor. Kilat sambaran petir yang tak kunjung damai, seolah menghipnotis pikiran gue untuk mempercepat laju kendaraan roda empat yang dikendarai namun masih terjebak dalam situasi kemacetan.
Sial, harusnya dari jam dua siang tadi gue langsung bergegas keluar kantor alias bolos. Toh Sandi juga lagi gak ada di kantor, gak tau kemana. Sedangkan Yayan belum masuk karena ngabisin jatah cutinya yang masih tersisa tiga hari lagi. Dewan? Dia lagi sibuk ngurusin landaknya yang mau lahiran.
Jangan tanyain Wawan ke gue, karena gue sendiri belum kontakan lagi sama dia sebulan terakhir. Jawaban pastinya sih dia lagi sibuk ngebucin....
...sama pekerjaannya.
“Mas, di sini mulai mendung. Kamu udah pulang?”
Suara merdu seseorang yang memenuhi mobil gue melalui sambungan telepon layar head unit din itu seketika mengembalikan pandangan gue yang udah mulai gak fokus sama jalanan. Gue yang awalnya merasa terburu-buru dan gak sabaran karena mengejar waktu, tiba-tiba mendengar pesan dari manusia kesayangan, Zalya.
“Gak usah ngebut, santai aja jalannya, Mas. Toh aku juga nungguin kamu sambil beberes, nih. Soalnya Mama baru pulang nanti malem, seenggaknya aku udah nyiapin dia nasi di rice cooker.” Ujarnya menginformasikan.
Dia tahu kalau gue adalah orang paling patuh kalau soal waktu, bertepatan cuaca mendung diiringi petir yang membuat gue jadi serasa diburu-buru dan takut terlambat. Padahal gue baru aja berangkat sekitar setengah jam, sudah hampir dekat menuju rumahnya.
“Okay, mau dibawain sesuatu gak, Zal?”
“Mau.”
“Apa?”
“Nduselin kamu. Aku mau itu.”
Bangke, gue digodain.
Gue gak bisa menyembunyikan sunggingan senyum di sudut bibir yang gue yakini kalau Zalya pun pasti sedang menahan tawa di sana akibat ulah flirting-nya barusan.
“Udah ah, kututup teleponnya. Bye, Zalya.”
“Kiss bye-nya mana?”
“Chu!” Segera gue menyentuh fitur penutup telepon berwarna merah pada layar sebelum gue kembali merasakan degup jantung tak beraturan.
Zalya belum gue temui lagi setelah dua minggu gara-gara kerjaan yang terus dikejar deadline. Menjelang weekend esok hari, gue udah berencana mengajaknya untuk ketemuan di rumahnya. Namun Zalya menolak, ia justru meminta dijemput dan diantar ke apartemen gue. Which is gue harus menempuh sejauh 20km dari kantor dulu menuju rumahnya, padahal jarak dari kantor ke apartemen gue cuma 4km doang. Gak papa, yang penting gue akhirnya bisa sempatin waktu untuk ketemu dia sampai hari minggu nanti. Bucin banget, sih, gue?
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Zalya minta dijemput dan berkunjung ke apartemen, sih. Gue juga gak merasa keberatan ataupun sungkan, justru seneng banget. Selain kebiasaan kami yang lebih nyaman mengobrol di rumah, alasan lainnya karena kami masih takut untuk sekedar nongkrong di tempat umum. Meski sekarang sudah memasuki masa new normal, tetap aja gak berpengaruh pada kami untuk terus waspada dengan menghindari kerumunan. Lagian kan gue mau berduaan, gak enak dong kalo diliatin orang-orang. HEHE.
Gadis yang berpakaian dress tanggung diselimuti blazer berwarna cokelat tua, menghampiri gue yang sudah menunggu di depan rumahnya. Disampirnya di pundak tali tas kecil berwarna soft pink, kado pemberian gue di hari ulang tahunnya beberapa bulan yang lalu. Gue bersyukur gak salah beliin kado yang bisa dibilang random milihnya, takut gak cocok sama seleranya. Tapi gue sedikit tenang saat tahu fakta kalo Zalya sebetulnya bukan termasuk orang yang ribet sama urusan barang ataupun warna. Dia selalu menghargai apapun pemberian yang diberikan tanpa menunjukkan sikap tak sukanya di depan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Aktuelle Literatur[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...