Di depan pemandangan gue saat ini terlihat Gendis dan Mas Ibra yang masih menjadi sorotan di atas panggung. Iringan tepuk tangan meriah dari seluruh tamu dan pegawai menyaksikan serta menyambut kebahagiaan di antara keduanya. Berbeda dengan sikap gue yang mematung, tak sanggup berkata-kata dan menatap mereka tajam penuh kebencian. Tangan gue mengepal, ingin rasanya melempar semua benda yang ada di atas meja ke hadapan mereka. Tapi apalah daya, kekuatan gue seketika melemah tak memiliki tenaga saat sadar bahwa posisi gue hanyalah sebagai tamu yang sengaja diajak mantan untuk hadir di acara istimewanya.
Gue berdiri disoroti mata semua tamu yang hadir. Merasa tak peduli akan malu, gue bergegas mencari pintu keluar penuh kekecewaan.
Sejenak gue meninju-ninju dan membenturkan kepala ke setir kemudi berkali-kali, mencengkeram erat bagian kepala dan mengacak-acak rambut asal. Gue menghela napas kasar, mengumpat penuh amarah saat membayangkan adegan nyata tadi. Muncul rasa penyesalan atas keputusan yang gue lakukan hari ini.
Ya, firasat gue yang mengganjal penuh kegelisahan sejak kemarin kini menemukan sebuah jawaban. Ketika gue merasa gak yakin, mustinya lebih baik cukup berhenti sampai di situ. Namun yang gue lakukan justru semakin terdorong untuk terus berlanjut hanya karena ingin memenuhi rasa penasaran. Gue baru menyadari akan satu hal, saat bertemu Gendis minggu lalu gue seharusnya bertanya terlebih dulu tentang status hubungannya saat ini. Gue hanya berfokus padanya dan berekspektasi tinggi, mengharap kembalinya dia kemarin akan terjadi hal baik untuk kami berdua.
Kini gue memaki diri sendiri betapa bodohnya seorang Jenderal hanya karena disapa mantan via komentar saat siaran.
Zalya... Iya, gue mulai terpikirkan soal Zalya yang pasti udah menunggu lama di restoran tempat kami janjian. Segera gue mengencangkan seatbelt hendak menyusulnya sekarang.
Selama menyetir, gue terus menelpon Zalya yang tersambung namun tak diangkat. Jam tangan gue menunjukkan pukul 08.10, udah melewati satu jam lebih sepuluh menit dan perjalanan masih padat merayap kendaraan. Mengecek maps, jarak gue untuk sampai ke tempat Zalya membutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan menempuh perjalanan sejauh 11 km, itupun opsional apabila gak ada kendala seperti macet dan lain sebagainya.
"Angkat dong, Zal..." gue mulai resah lantaran saat menelpon keempat kalinya, tetapi belum diangkat juga.
Saat jalanan mulai lengang, seketika gue menancap gas dibalut emosi yang memuncak. Bodo amat dengan kecepatan mobil yang melampaui batas normal. Menyalip beberapa mobil dengan membanting setir secara kasar. Terkesan ugal-ugalan, sampai menimbulkan respons negatif dari beberapa mobil yang mengklakson kencang. Tak jarang gue nekat menerobos lampu merah dengan sengaja.
Kedatangan gue lebih cepat 10 menit dari waktu yang ditentukan petunjuk arah tadi. Masih dalam perasaan sakit hati, dengan napas yang terengah-engah gue mencoba berdiam sejenak untuk menenangkan diri sebelum bertemu Zalya. Gue gak boleh datang dengan tampilan kacau kayak gini, gue harus bersikap seolah gak terjadi apa-apa. Dengan terburu-buru gue menata rambut asal rapi dan bersiap untuk turun dari mobil.
Gue berhasil sampai di sebuah restoran dimsum tempat kami seharusnya bertemu. Konsep restorannya indoor dengan model dinding berlapis kaca di bagian depan dan terlihat secara keseluruhan dari dalam sana. Dari sini gue harusnya bisa mendeteksi kehadiran Zalya, tapi sosoknya seperti tidak ada. Gue was-was, jangan-jangan dia udah pulang?
Pintu yang digantungi bel berbunyi sebagai tanda kedatangan pengunjung menyambut gue, kondisinya begitu kondusif. Gue mulai mencari Zalya di setiap sudut meja yang diisi oleh satu orang namun hasilnya nihil. Sedikit ragu, gue memastikan kembali bahwa restoran yang gue kunjungi udah sesuai alamat yang dikirim Zalya minggu lalu. Berulang-ulang gue bertanya pada semua pengunjung hingga ada satu staf memberi tahu informasi tentangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...