24. Video Call

640 111 23
                                    

Masa cuti gue berakhir, sisa libur tinggal dua hari di weekend sebelum masuk kantor Hari Senin nanti. Setelah istirahat di apartemen sejak pagi tadi, sorenya gue beberes ditemani Sandi dan Dewan. Awalnya mereka datang cuma mau minta oleh-oleh. Ya udah numpung masih di sini, sekalian aja gue minta tolong ke mereka buat bantu beresin ruang tengah dan dapur. Kondisinya cuma berdebu, sih. Karena jarang gue pake pasti gak akan langsung dibersihin saat itu juga. 'Padahal mah emang lagi mager aja'

"Berdebu doang apanya? Ini lo bekas masak mie, piring, gelas-gelas bekas kopi udah dari kapan, Jen?" Sandi mengangkat panci kecil yang dipenuhi air bekas rebusan mie dan telur yang berkerak. Kedua tangannya dilapisi sarung tangan sebagai alat tempur mencuci piring.

Kapan lagi kan gue bisa nyuruh-nyuruh atasan buat beresin apartemen anak buahnya. Indahnya dunia.

"Lupa gue. Pokoknya sebelum gue berangkat, H-3 apa ya?" memiringkan kepala berusaha mengingat.

Dibalas dengan gelengan kepala, "Buset, H-3 sebelum berangkat, satu hari di rumah sodara dan elo hiking kan tiga hari? semingguan dong? Jorok lo!"

Gue menyengir, "Hehe. Yang bersih ya." Sandi malah mengumpat di depan wastafel.

Selanjutnya langkah kaki beralih menuju ruang tengah yang berbunyi suara penyedot debu otomatis. Dewan sibuk di sana berkutat dengan sapu ijuk dan pengki berwarna merah muda. Dia mengenakan masker dan penutup kepala layaknya tukang bersih profesional. Seakan rumah gue paling kotor di mata dia.

"Mas, bantuin gue angkatin ini sofa." pintanya.

"Di situ bersih kali, Dew. Ngapain sampe kesitu-situ?"

"Udah nurut apa kata gue. Cepetan." ajaknya memaksa.

Gue berjalan ke sisi kiri sofa, kami berdua saling berhadapan. Dewan menghitung aba-aba satu sampai tiga dan mengangkatnya serempak hingga ke depan. Terdapat sisa remahan cemilan tercampur debu yang menyebar di area bawah sofa tersebut. Lagi-lagi gue menyengir.

"Tuh? Kayak gini dibilang bersih? Anak bujang... Anak bujang... Sungguh memprihatinkan. Pantes alergi debu, orang ditumpuk begini debu-debunya." dia menghela napas seraya memegang dadanya, kayak berperan sebagai orang sepuh yang lagi ngomelin anaknya.

"Nah, elo prihatin kan? Jadi yang bersih ya."

"Untung temen."

"Itulah gunanya sebagai teman, harus saling membantu sesama." ucapan gue digubris pake lemparan sapunya Dewan. Namun berhasil gue tangkap menggunakan kedua tangan.

"Sorry, SENGAJA." mulutnya serasa minta dibekep.

"Dew, oleh-oleh titipan lo kayaknya gak jadi gue kasih-"

Dewan memotong, "Eh iya iya iya iya. Gue bakal bersihin deh pokoknya seluruh sudut ruangan ini. Bersihin dosa lo juga sini sekalian dah." lawak banget ini orang.

"Hmm sialan ya kamu. Dah lah gue mau ke kamar."

"Enak banget lo. Temen lagi ribet ngeberesin rumah, eh yang punya malah enak-enakan mau tidur di kamar." teriak Sandi menyindir terang-terangan.

"Tidur dari Hongkong. Orang mau beres-beres juga!" keduanya hanya ber-oh-ria.

Gue masuk ke kamar yang kondisinya gak kalah berdebu sama dua ruangan tadi. Karena cepat-cepat mau diberesin, gue udah gak mikirin lagi soal kaos putih dan celana piyama kotak-kotak hitam abu-abu yang gue kenakan. Menyalakan tombol power pada vacuum cleaner, tangan kanan memegang alatnya lalu mulai menyedot, membersihkan dari bagian ujung dekat nakas, bawah meja PC, area lemari sampai menuju depan pintu kamar mandi.

[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang