Tinggal tersisa 1 jam lagi waktu gue buat liputan. Bedanya sekarang kondisinya udah gak seramai tadi, karena sesi dua cuma diisi untuk diskusi khusus internal. Zalya akhirnya bisa duduk setelah mengambil kursi kosong yang berada di dekat meja. Jadi kami berdua bisa duduk masing-masing.
"Mas Jen, acaranya kelar jam berapa sih?" tanyanya seraya melihat jam tangan kulit di tangan kirinya, "Masih lama?"
"Jam 4-an kayaknya. Tapi kan kita juga harus beres-beres dulu abis ini." mulai ngantuk mata ini tapi berusaha gue tahan. Setelahnya menepuk pelan muka ini biar gak ketiduran.
"Mas, jangan tidur." ejeknya, ketahuan juga.
"Kagaklah. Tinggal sejam lagi kan." melipat tangan di atas dada.
Beberapa menit kemudian, "Mas, abis ini balik ke kantor langsung olah berita?"
"Ye... dia malah......Mas!" lalu Zalya menoyor bahu gue menggunakan jari telunjuk.
Kepala ini yang udah setengah menunduk kini jadi bergerak sedikit. Gue mendongak, mata gue barusan gak sengaja terpejam otomatis, "Kenapa?"
"Jangan tidur!" bisiknya menegur.
"Dih, kagak ya. Enak aja." gue tetap berkilah sampai dia memberi selembar tisu.
Arah jarinya menunjuk pada bawah sudut bibir gue, seakan ada sesuatu hal aneh di sini.
"I-itu, gak papa tuh? Ngeces? Ilangin dulu, Mas."
JEN!!! MALU-MALUIN BANGET SIH LO ASTAGA.
Gue menerima tisu pemberiannya sambil nutupin mulut pake sebelah tangan, abis itu gue berbalik punggung buat ngelap bersihin iler, duh! Ditambah membenahi kacamata yang posisi frame-nya udah setengah turun. Jen-jen, lagi kerja kok kenapa begini amat sih.
Dia berlanjut, "Nih, Mas. Air putih, biar ilang ngantuknya." gue menerima satu gelas kemasan lalu menyedotnya cepat. Masih berasa tengsin gue, sialan.
Gue melirik, "Lo nanya gue apaan tadi?" bertanya ulang padanya, kayaknya dia sempat ngomongin sesuatu tadi.
"Enggak. Gak jadi."
Gak percaya, "Apaan? Lo tadi nanya ke gue, gue denger."
"Ah masa? Halu kali lo, Mas. Udah beneran melek kan ini?" tanyanya menyeringai. Tangannya bergerak melambai-lambai ke arah muka gue.
Gue menghela napas mendengar jawabannya. Damn!
Gue mengeluarkan sebuah alasan, "Manusiawi kali kalo ketiduran mah."
"Lebih manusiawi lagi kalo seseorang punya rasa empati seperti membagi tempat duduk." baper dia ternyata gara-gara gue gak mau ngalah soal kursi. Kalimatnya nohok banget buset.
"Maleslah kalo empatinya ke elo, mah! Apalagi yang hobinya cepu." ini mulut kenapa jadi nyinyir sampai kemana-mana dah.
Tapi kalo nyinyirnya ke anak magang mah ya mostly emang udah kerjaan gue sih. Ya udahlah gak papa. Sip.
"Jadi keliatan kan siapa yang gak terimaan." celetuknya.
"Lo."
"Bukan lah, elo Mas Jen."
"Kapan emangnya?"
"Barusan."
"Ngaca plis, punya HP jangan dipake selfie sama live IG doang. Tapi dipake juga buat ngaca, buat menyadarkan diri atas segala kelakuan dosa." cibir gue.
Gak ada anak-anak radio di sini, jadi gak bakal ada yang misahin debat tidak berfaedah ini diantara kami.
"HP gue gak cuma dipake buat selfie doang kok, tapi buat.........nih! Hahay!" lalu dipamerinya sebuah foto gue yang lagi merem nyender di kursi otomatis bikin kedua manik ini membesar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Ficción General[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...