29. Liputan

543 95 23
                                    

Irama musik band yang berdentum keras menyambut kedatangan gue dan Yayan di sebuah lokasi acara rangkaian workshop lainnya, "Pameran Fotografi Komunitas Aktivis Jurnalis 2019". Setelah turun dari mobil, kami berdua bergegas segera mencari spot terbaik untuk mendapatkan barisan pertama. Terdapat red carpet area yang telah didekor sedemikian rupa nantinya akan digunakan sebagai tempat doorstop para tamu undangan penting yang hadir di sini.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya waktu gue bertemu Wawan di Polres, acara ini merupakan hasil kerjasama antara Kementerian dan KAJ. Semua pendanaan acara ini ditanggung sepenuhnya dari pihak Kementerian, sementara pihak KAJ ditunjuk sebagai pihak penyelenggara. Jadi tugas tim radio gak berat-berat amat untuk malam ini. Cuma disuruh liputan aja, udah cukup kami lelah mengurus agenda sejak hari pertama sampai hari ketiga tadi pagi.

Kami kebingungan karena di sini gak ada yang gue dan Yayan kenal sama sekali. Wawan sebagai ketum juga belum menunjukkan batang hidungnya. Yayan dengan wajah muramnya—pake acara kenapa ini lagi orang, hanya terbungkam selagi memasang tripod dan juga atur kamera. Rata-rata mereka yang ada di sini mengenakan baju yang identik dengan ciri khas KAJ, terdapat pulpen yang mengait di lengan atas kiri dan sebuah buku saku yang terlihat di kantung sebelah kiri. Belum selesai, ada badge logo juga di sebelah lengan kanan atas, dan badge nama di kiri dada.

"Jen, feeling gue kok gak enak ya?" Yayan curhat tiba-tiba.

"Kurang makan lo? Apa gimana?"

Dia menggeleng, "Gak tau, perasaan gue juga gak salah makan. Aneh aja gitu dari pas kita dateng ke sini."

Satu persatu para media berkumpul di area red carpet tadi. Menurut instruksi panitia, semua wartawan yang hadir diperbolehkan meliput atau on cam selama sesi doorstop berlangsung. Gue sibuk mengelap kacamata yang berdebu, sedangkan Yayan berputar sesekali melihat pemandangan sekitar, tanggapannya tempat ini sangat unik.

Ngomong-ngomong soal lokasi acara, kami berada di sebuah kawasan gedung bangunan tua yang dekat dengan aliran sungai terkenal Ibukota. Tatanan interior-nya masih rapi dan hanya direnovasi kecil pada bagian bahu jalan. Seluruh alas jalanan menggunakan paving tua yang masih kokoh. Tiang-tiang lampu lawas berjejer di sepanjang jalan dan redup cahayanya, penglihatan gue pun menghangat. Yang paling penting, bangunan ini gak pernah dirubah baik dari segi bentuk ataupun warna dindingnya. Betul-betul terawat sangat baik, kesan nilai historinya terasa kental.

Kurang dari lima belas menit lagi sebelum sesi doorstop dimulai. Yayan yang baru aja datang sehabis membeli satu bungkus kerak telor kini duduk asal di pinggiran trotoar sungai. Jaraknya cuma 10 meter, gak begitu jauh untuk mengawasi kamera yang berada di sana. Yayan sengaja beli selain karena penasaran sama rasanya, perasaannya belum kunjung tenang sejak tadi. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya dengan cara makan. Gue yang gak bisa makan telur cuma bisa ngeliatin dia menghabiskan satu porsi dalam waktu kurang dari lima menit.

"Gue tadi kayak ngeliat Arina." gue menoleh ke arahnya setelah sibuk bermain HP.

"Tapi gak tau beneran dia apa bukan, sendirian juga." lanjutnya.

"Lo gak coba samperin?"

"Enggak, ah. Kayaknya mah bukan." yakinnya.

Gue mengernyit, "Yan, lo udah tau soal ini belom?"

"Udah, Zalya kan? Yang jadi korban fitnah temennya? Arlan cerita ke gue tadi pagi."

"Bukan itu doang, lo perhatiin deh. Noh, baca papan karangan bunga di sebelah sono!" seru gue menyuruh.

"Selamat dan Sukses untuk Dewantara Wiryawan sebagai Ketua Umum dari Komunitas Aktivis Jurnalis, dkk... Jen, ini namanya Wawan bukan?" tanyanya. Gue fikir reaksi dia bakalan heboh, speechless, atau bahkan histeris. Justru yang terjadi sebaliknya. Wajahnya semakin datar seperti kehilangan gairah.

[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang