26. Jemput

555 104 15
                                    

Bunyi klakson yang berbunyi memenuhi sepanjang jalan tol menuju akses ke bandara. Pemandangan sorot lampu belakang mobil-mobil mampu mengunci mata hingga terngiang di kepala gue, merah semua. Di tengah kemacetan gue tersenyum sinis, terheran sendiri dengan apa yang sedang gue lakukan sekarang. Kalo aja Sandi gak nyuruh gue untuk jemput Zalya dan Yayan, pasti gue masih tidur jam segini. Tebak aja sekarang jam berapa? Jam 4 pagi!

Yayan kemarin sempat menelpon dan ngomongin siapa yang bakal jemput kepulangan dia dari Palembang. Gue kasih usulan, "Kenapa gak suruh sopir kantor aja, sih?". Soalnya kan mereka melakukan perjalanan dinas, wajar dong kalo dimintai tolong untuk jemput. Faktanya, adanya sopir kantor cuma dikhususkan untuk antar jemput para petinggi yang berada di Eselon I. Bahkan Sandi yang masuk Eselon III pun juga belum dapat fasilitas itu.

Selanjutnya gue ngusulin lagi, mendingan naik Grebcar atau Go-Kar. Jaman sekarang udah ada fitur yang bisa atur jadwal dari user mau dijemput jam berapa sama driver-nya. Gak bermaksud ngiklan nih, tapi emang beneran bisa. Gue jelasin tuh panjang lebar ke Yayan. Tetep dianya gak mau, katanya gak tega kalo harus jemput kejauhan. Susahlah.

Gak lama satu jam kemudian Sandi nelpon, gue yang disuruh jemput mereka. Asem!

"Eh rubah licik! Kenapa gak bilang aja sih kalo minta dijemput gue? Pake bilang ke Sandi segala." Yayan kaget nih pasti pas baru angkat telepon langsung kena omelan.

"Haha... Sorry Jen, abis lo dari tadi udah diajakin ngobrol, dikodein, Gue tau lo orangnya peka. Tapi tadi kayak sengaja enggan gitu mau menawarkan diri buat jemput gue." nah kan emang ngeselin banget ini orang.

"Ya lo tinggal ngomong aja kek, "Jen, lo jemput gue deh" apa susahnya sih, Mbul?"

"Ya udah kita reka ulang adegan aja. Gimana?"

"Udah telat. Udah keburu emosi ini." sekaligus pengen nampol sekalian.

Dia malah terus ngetawain gue, "Puas-puasin tuh ketawa, besok kan jobdesk-nya sama lagi. Nangis-nangis dah lo."

"Gue pembicara coy, elo yang gak dirubah posisinya. Tetep sama kayak sebelumnya." pedenya.

Seketika cengo, "DEMI APA?"

"Iyalah. Itu kesepakatan antara gue dan Sandi kemarin. Kalo aja lo gak cuti, kemungkinan tim pelaksana workshop diambil sebagian dari tim humas. Karena lo cuti, ya batal."

Berasa double-kill gue dengar kabar ini, muncul rasa ketidakadilan. Gak diberi peluang lebih untuk setiap kesempatan yang harusnya bisa gue dapatkan. Coba aja sebelum cuti Sandi terang-terangan bilang ke gue apa yang diomongin Yayan barusan. Tentu saja gue akan berpikir ulang untuk cuti. Nasib pegawai honorer, prioritas kehadirannya selalu jadi yang kesekian. Mendadak iri berat sama Yayan.

"Udah gak usah sok sedih lo, segi gaji bakal gedean lo, kok. Lumayan tuh buat lunasin Ferrari lo—eh Pajero deh." hiburnya. Lucu lo Yan, lucu.

Kembali ke keadaan saat ini, mulut gue gak berhenti menguap sedari tadi. Memegang kemudi tanpa bergerak sama sekali. Gue udah berangkat dari sekitar jam 2 pagi, sengaja biar gak kejebak macet. Ternyata sama aja, bahkan ini lebih parah dari jalanan yang gue lewatin tiap mau ke kantor. Bagaikan seekor keong, mobil baru bisa bergerak maju tiap 12 menit sekali, itupun kurang dari 40 km/jam.

Karena takut mereka keburu nyampek, gue berniat menelpon Brian untuk memberi kabar. Tapi HP-nya gak aktif, kayaknya dia masih terbang—masih di pesawat maksudnya.

"Gila ajalah, kapan kelarnya, nih?" jengkel gue sampai menghela napas kasar. Mulai gak betah karena masih stuck terus di sini, kaki mulai terasa kesemutan.

[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang