Siangnya, kantor mendadak ramai karena kedatangan Wardah. Dia membawa enam toples makanan berukuran besar yang sengaja di-order Sandi buat dinikmati bareng di meja bundar. Isinya kebanyakan kue-kue kering sih kayak nastar, kue kacang, kastangel, putri salju, kue cokelat sprinkle, dan satu lagi ada favorit gue, kue bagelen.
"Jen, numpung lo belom ke bawah, lo mau keep yang mana?" Yayan sibuk mengunyah nastar yang udah dilahap tiga biji sekaligus di mulutnya.
Ragu gue belum percaya, "Beneran lo keep gak nih?"
"Asal jangan yang ini aja." ditariknya sedikit toples kue berisi selai nanas itu di dekatnya. Takut banget kehabisan, padahal dia udah keseringan banget jajan di tokonya Wardah.
Sayangnya, gue harus pergi ke studio buat siaran. Jadi gak bakalan sempet nyicipin kuenya sambil ngopi-ngopi cantik di sofa pojokan. Makanya Yayan barusan nawarin ke gue kue mana yang mau disisihin.
"Mas Yan, siniin nastarnya. Gue belom nyicipin nih!" pinta Dewan berniat menarik toplesnya.
"Bentar! Satu lagi deh." dan diambilnya tiga biji persis mengulang hal yang sama kayak tadi. "Nih, Dew. Hehe."
"Bagelen dah tuh sisihin, Mbul." sahut gue.
Tersenyum sumringah, "Oke deh. MAS SAN, JEN KEEP BAGELEN GAK PAPA YA?" ucapnya setengah berteriak ke arah Sandi yang lagi makan berduaan sama calon istrinya di meja kerja.
"Serah kalian aja. Pokoknya udah gue bagiin semuanya." simpulnya cepat.
"GUE KEEP PUTRI SALJU YA MBAK WAR, MAS SAN." Dewan jadi ikut-ikutan megangin toplesnya yang masih disegel selotip transparan.
Disusul anak magang satu-satunya di sini mengangkat toples dengan satu tangan, "ZALYA MAU KUE COKLATNYA YA MAS SAN." percayalah, bocah satu ini sebenarnya abis kena bujukannya Dewan.
"Awas gigi lo ompong makanin cokelat." ejek gue tanpa meliriknya.
Sambil memelet, "Bilang aja Mas Jen ngiri sama pengen kan?"
"Idih. Gak ya, gak pengen. Sowry."
"Eh, udah ah berantem mulu lo berdua. Zal, bagi satu dong kue cokelatnya." Yayan yang keliatan lebih kepo sama kuenya.
"Sini Mas, Zalya bakal bagiin khusus Mas Yayan. Mau bera—"
"WAR, MAKASIH YAAA." teriakan dengan desibel rendah gue berhasil motongin obrolan mereka barusan. Iseng aja.
"Iya, sama-sama Jen. Diabisin ya! Jangan lupa kasih feedback nanti sama bintangnya berapaaaaa?"
"LIMAAAAAAAA." kompak kami semua menjawab dan mengeluarkan kelima jari.
"Cakep!" Wardah tersenyum mengacungkan ibu jarinya.
"Gue ke bawah dulu." pamit gue dihadapan mereka semua.
"Iya. Jangan lupa request-an gue!"
As always, dia sering banget kayak gini.
"Iya, Mbul. Dew ikut turun gak lo?"
"Ayo dah, GUYS! GUE KE BAWAH YA!" nadanya sengaja banget digedein di depan Sandi. Emang suka gitu dia kalo ngeliat ada yang berduaan di sini, digangguin.
Gue sekarang udah berada di studio. Wangi parfum aromatherapy dari dekat AC menghiasi setiap sudut ruangan. Akhir-akhir ini gue jadi sering siaran lagi, soalnya anak magang cuma dikit jumlahnya. Dewan yang ikut ke sini sibuk mantengin sebuah bingkai foto yang terpasang di dinding. Di sana terdapat foto kami berempat saat menjadi tim publikasi acara Rembuk Nasional tahun kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...