Balik ngantor sehabis cuti itu rasanya malah jadi asing. Berasa pegawai baru yang ngalamin culture shock. Gue mendadak kurang update info dari para pegawai. Termasuk atasan gue sendiri, Sandi. Saat gue masuk ruangan, di atas meja ditemukan sebuah bingkisan berwarna kuning keemasan. Berbentuk kotak dan terselip sebuah undangan pernikahan berinisial "W & S". Tercantum dengan jelas nama penerimanya “Jenderal Parvia Nggara, S.T. & Partner (Jika ada) - di tempat”. Cara penulisan nama gue pake salah segala letak ketikannya.
“LO KENAPA BARU NGABARIN GUE SEKARANG?” sengaja bikin heboh seruangan. Padahal disitu cuma ada kami berdua, gue dan Sandi.
“Masih lama, Jen. Masih bulan depan. Jadi gue gak perlu buru-buru amat ngundangnya.” santainya menjawab.
Mata gue menyipit lagi melihat ada satu bingkisan lainnya yang tertumpuk di bawah, “Terus yang ini apaan? Kok punya Wawan bisa ada di gue juga?” seraya mengangkatnya tertulis milik “Wawantara Wiryawan dan Partner (Wajib) - di tempat”. Namanya juga salah nih, udah pikun kayaknya sama nama aslinya.
“Oh, itu gue nitip. Kan elo mau ke Polres buat ngambil STNK. Trus sekalian janjian ketemu sama dia. Tempat kerjanya dia kan di sana.” katanya menyengir, tau aja kalo gue ada jadwal sidang tilang minggu depan. Satu lagi, kerjaan Wawan sebagai reporter investigasi di kepolisian ternyata bikin orang-orang salah paham, kebanyakan mengira kalo Wawan jadi polisi.
"Kenapa gak lo anter pake Goosend aja?"
"Gue udah telanjur ngomong ke orangnya."
"Hmm, pantes. Lah, berarti dia tau dong gue abis ditilang?" dan hanya dibalasnya dengan sebuah anggukan.
"Sudah kuduga."
"Abis dia nanyain juga ngapain elo ke Polres, ya gue jawab aja mau ngambil STNK." gak ada sahutan dari gue setelahnya.
Kemudian datang seseorang yang mengetuk pintu, "Permisi." dia tersenyum hingga bersiul saat gue menoleh padanya. Namanya Arlandio, orang Humas.
Tumbenan banget si Arlan datang kemari. Emang sih udah beberapa bulan terakhir gue jarang ketemu dia. Tampilannya rapi banget, rambutnya klimis dengan dahinya yang terlihat mengkilap. Mengenakan kemeja putih celana hitam—karena ini Hari Senin, semuanya wajib pakai seragam. Lengan bajunya masih mulus terkancing—biasanya kalo udah abis makan siang suka pada dilipat sampai ke siku—dan aroma parfum Dior-nya tercium jelas sampai nusuk ke hidung. Gue sempet mikir kayaknya dia pake parfumnya tiap semprot lima menit sekali.
"Wih, Arlan. Apa kabar lo?" tanya Sandi menghampiri, "Sini duduk."
"Baik, Bang Sandi. Bang Jen lo bukannya cuti?"
"Udah kelar. Seminggu doang kan. Mau nambah gak dibolehin." sahut gue sengaja melirik ke si Bos, malah dipelototin.
Mata gue membentuk bulan sabit, "Biasa aja dong. Tolong tenang ya, Pak."
"Cuma lo doang emang pegawai yang berani ngajuin cuti sampe setahun."
"Serius Bang? Haha. Gila lo Bang Jen. Emangnya nih Kementerian punya elo?" recehnya Arlan sewaktu melihat gue menyengir lebar sambil mengacungkan jempol.
"Andai aja gue presidennya. Gue bakal berlakuin tuh program cuti setahun."
"Halah. Orang modelan kayak elo gini nih yang bikin pengangguran makin meningkat. Nganggurnya bukan cuma susah cari kerja, tapi males kerja. Giliran diajakin kerja maunya seenaknya sendiri." tutur Sandi berpendapat serius. Ampun pak.
Ketawanya Arlan pun masih berlanjut. Udahlah sampai sini gue lebih baik be silent aja daripada kena semprot lagi.
"Ada urusan apa lo ke sini, Lan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Ficción General[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...