Sandi gak bercanda soal perintahnya yang diberikan ke gue tadi pagi. Gue udah cukup pusing dengan kerjaan, makin ditambah pusing lagi karenanya. Hari ini hectic seperti biasanya, di tengah-tengah jam istirahat gue menyempatkan diri bersandar di kursi meja kerja. Memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam seraya melipat kedua tangan di atas dada ala-ala bermeditasi. Kacamata dibiarkan menggantung di bagian puncak hidung.
Gue menggumam, "Bujuk dia beberapa hari? Sandi gak bisa apa nyuruh orang lain aja?"
"Ah, bodolah. Gue diemin aja. Biarin." gue bermonolog. Muncul rasa licik dalam benak diri gue untuk gak melanjutkan amanah dari Sandi.
"Tapi kalo gue diemin, tim radio bakalan kekurangan satu orang. Bagian timpel 2 lagi." bangun gue terduduk kembali. Tanpa sengaja lengan gue menyikut meja dan mengeluarkan suara keras seperti sedang menggebrak. Rasanya kayak kesetrum, sakit banget sampai bikin gue merintih.
"Timpel 1, Jen lo di mana? Ganti."
Terdengar suara Brian yang memanggil nama gue, sepertinya dia mengambil alih HT yang biasa dipegang Dewan.
"Lantai tiga. Why?" namun ia gak menjawab setelahnya. Lima menit kemudian dia memasuki ruangan, bertemu gue yang duduk anteng di meja kerja.
Dia menghela napas saat mengamati gue, "Kenapa lo? Naksir?" frontal gue bertanya.
Yayan melengos, selanjutnya dia menggeser salah satu kursi dari meja bundar lalu turut duduk di sebelah gue.
"Lo gak turun-turun dari tadi, di sini aja." ujarnya baru membuka obrolan.
"Males turun." irit gue menjawab tanpa meliriknya.
Gue bertanya dua kali, "Kenapa lo?"
"Mas Jen!" belum sempat Yayan berbicara, Zalya datang memanggil masuk ruangan. Tahu darimana kalo gue ada di sini?
"Oh, lagi ngobrol sama Mas Yayan ternyata. Kalian lanjut dulu deh, maaf mengganggu..." lanjutnya kikuk hendak pergi.
Yayan menahan, "Enggak kok, Zal. Lo mau ngomong sama Jen?"
"Iya, Mas."
"Ya udah, gih ngobrol aja."
Tiba-tiba canggung, "Hmm... Tapi Zalya... Mau ngobrol berdua aja." sambil menggaruk tengkuk leher.
Gue dan Yayan otomatis menoleh kompak ke arahnya. Yayan yang mengerti keinginan Zalya kemudian beranjak keluar ruangan. Gue masih tetap pada posisi gue, sedangkan Zalya menduduki kursi yang sebelumnya diduduki Yayan.
"Mas, gue gak ganggu kan?"
"Enggak. Ada apaan?" tanya gue sambil men-scroll website di PC.
"Sebetulnya Zalya mau ngucapin terima kasih ke Mas Jen. Gara-gara waktu itu udah belain Zalya di depan mereka." ujarnya berterus terang.
"Oh, soal itu. Itu gue karena kebetulan ada titipan aja sih, Terus ada yang jawab humas, gue kasih deh." sahut gue.
Dia tersenyum, "Gue tahu, Mas Jen sebetulnya juga emang niat nolongin. Iya kan?" tanyanya memastikan.
"Kebetulan aja, Zal."
"Tapi Mas Jen denger apa kata mereka?"
"Gue bilang kebetulan, ya kebetulan. Ngapain juga gue dengerin mereka." gue tetap berkilah.
"Mas Jen, lo inget gak waktu gue ditanya sama elo. Kenapa gue gak pernah mau siaran sendirian?"
Gue menoleh ke arahnya lantaran dia membahas pertanyaan gue beberapa minggu lalu yang belum pernah dijawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Ficción General[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...