"Lo beneran gak tahu?"
Zalya hanya merespons dengan gelengan kepalanya yang tertunduk. Tindakan spontannya tadi menimbulkan sebuah permasalahan baru antara Yayan & Arina. Gue hanya menepuk dahi lantaran gak paham sama tingkah anak magang jaman sekarang.
Gara-gara omongan gue tadi terhadap Zalya di depan semuanya, dia jadi lebih banyak diam. Gak seperti biasanya yang dikit-dikit nanya atau gak sibuk meledek. Gue yakin banget dia pasti sempat shock. Makin memperjelas aja kalo Yayan memang belum kasih jarak atau bersikap tegas dan terlalu gak peka sama si Zalya.
Yayan juga gak menunjukkan batang hidungnya sejak dia pergi dari restoran karena sempat terjadi adegan FTV-maksudnya Arina memutuskan pamit duluan hingga berujung disusul Yayan. Pasti dia ngambeklah abis lihat pacarnya tiba-tiba digandeng sama cewek lain tanpa kejelasan.
"Mas Jen kenapa gak bilang kalo Mas Yayan udah punya pacar?"
"Kan udah tadi."
"Ih, maksudnya tuh sebelum-sebelumnya."
"Lo gak pernah nanya gue."
"Ya abisan lo kalo ditanya jawabnya sinis mulu!" ketusnya.
"Yayan emang gak pernah cerita?"
"Enggak." jujurnya.
Curiga gue memicingkan mata, "Lo beneran suka sama dia, Zal?"
"Ih, bukan gitu..." kilahnya gelisah. Matanya berpaling ke sembarang arah.
"Ya terus apa dong?"
"Ah, taulah!"
"Dih, orang ditanya malah marah."
"Udahlah Mas Jen kerja aja sana. Gue sibuk, nih."
"Sibuk mikirin Yayan?" ejek gue.
"Bukaaan."
"Udah jangan bohong..."
"Mas, serius ya. Gue malu banget tau abis lo bilangin kayak gitu tadi! Coba aja Mas Jen ngomongnya tuh pas Mas Sandi ngenalin orangnya tadi." ungkapnya memasang wajah kesal.
"Lagian juga biasanya gak begitu kan? Ada-ada aja sih pake lo gandengin tangannya segala."
"Karena gue gak tahu yang sebenarnya." dia menekankan kalimatnya.
"Terus dengan alasan yang kayak begini jadi lo merasa bisa bebas gitu untuk melakukan hal itu?"
"Bahkan nih ya, orang yang udah pacaran pun kayaknya jarang nunjukin kedekatan mereka di depan orang lain." imbuh gue.
"Kok lo jadi mojokin gue sih, Mas Jen?" merasa terintimidasi.
Menghela napas, "Gue gak mojokin, gue cuma bermaksud nyadarin elo. Di sini gak ada siapa-siapa selain kita berdua. Apa bisa kayak gini disebutnya gue lagi mojokin elo?"
Dia terdiam seolah memberikan kemenangan pada gue dalam percakapan ini.
Kami mengobrol duduk di sofa yang posisinya berseberangan. Sebelumnya dia hanya berdiri menyilangkan dada menatap jendela yang terbuka tirai berbentuk horizontal, menarik tali stripnya hingga ke atas. Cahaya matahari dari luar menembus hingga ke dalam ruangan.
Sandi lagi ada urusan di lantai 5, Dewan ada di ruang kerjanya. Gue mau ngacir juga gak ada tempat lain selain ke ruangan gue sendiri.
"Minta maaf lo Mas sama gue!"
"Dih, kenapa jadi gue yang kudu minta maaf?"
"Kan lo udah malu-maluin gue tadi. Buruan."
Bersikeras menolak, "Kok nyuruh? Gue gak salah ya, ogah. Itu tuh biar lo refleksi diri kalo jadi cewek gak sembarangan main gandeng tangan orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Ficción General[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...