Pintu lemari berwarna putih sedang terbuka saat gue menjajal seluruh baju yang akan dikenakan untuk malam ini. Sejak kepulangan dari kantor, gue terus memikirkan kira-kira model jenis apa yang harus gue pakai untuk bertemu Gendis nanti.
Iya, gue akan pergi menemuinya.
Belum ada 24 jam sejak Gendis menelpon semalam, "Halo Jen, kamu apa kabar?"
"I'm fine. Hi."
"Suara kamu masih kayak dulu ternyata" kekehnya pelan. Gue membayangkan dia tengah tersenyum kecil di sana.
"Oh..."
Hening. Gue menanti ucapan berikutnya.
"Aku baru dengerin kamu siaran lagi."
"Hmm. Thank you, Dis. Masih inget website-nya?"
"Inget, aku kan juga masih follow media sosialnya radio. Kerjaan kamu semuanya ada di sana bukan?"
Bener, semua gambar dan video yang gue edit memang semuanya terposting di sana.
"Btw, ada apa nelpon?" to the point gue bertanya.
"I just... kalo aku pengen ketemu kamu, gimana? I mean, how 'bout you?"
Cenat-cenut kepala gue hanya gara-gara mendengar jawabannya. Tercengang. Kali terakhir dia bilang "Enggak bisa" dan sekarang dia tiba-tiba minta ketemu? What the hell...
"Gak salah kan kalo aku mau ketemu kamu? Maksudku, kita udah dua tahun lost contact and suddenly I wanna meet you like as my close friend. So why not?"
Pukul 8 malam, bertempat di sebuah restoran khas Perancis yang terletak sebuah hotel di Jakarta. Pajero kesayangan gue terparkir menggunakan jasa valet, sesekali kebanyakan gaya gak papa lah ya. Dengan langkah tegak gue berjalan menuju ke dalam restoran. Suasananya tenang, tidak begitu banyak pengunjung di sini.
Deretan kursi dan meja tersebar secara berurutan dengan jarak kira-kira dua meter. Beralaskan karpet merah bermotif, interiornya juga tak kalah menarik perhatian. Sebuah lampu kaca besar menggantung tinggi bagian tengah restoran menunjukkan kesan klasik dan mewah. Beberapa waitress lalu lalang membawa pesanan ke masing-masing meja yang telah diberi nomor berbeda.
Soal baju, gue mengenakan cardigan dengan kemeja berwarna navy polos berlengan panjang. Tidak lupa dengan sepatu Converse hitam-warnanya keliatan kucel banget-dengan simpul tali yang begitu rapi. Tatanan rambut gue juga berubah dengan membelah poni serta menggunakan smartwatch di pergelangan tangan kiri.
Fyi, gue memang pernah ke sini bareng Gendis saat pertama kali nge-date. Gue gak tahu, kenapa kemarin malam tiba-tiba gue menyebut nama restoran ini ketika ditanya mau ketemuan di mana. Harusnya mah jawab Mekdi aja sih, emang gue sok berduit banget jadi manusia.
Mana sekarang lagi memasuki masa akhir bulan. Makan siang aja tadi pake mi instan.
Dari kejauhan gue melihat lambaian tangan perempuan yang sedang dilayani oleh salah satu waitress. Gue menghampirinya dan menarik kursi pelan di seberangnya lalu duduk. Tercium aroma parfumnya yang masih sama, cherry blossom.
Senyum menawannya itu kembali terlihat di depan mata. Maniknya membentuk bulan sabit, pipinya mengembang kemerahan penuh riasan blush on-nya. Bibirnya terpoles lipstik sempurna berwarna soft pink. Dengan rambut curly yang memanjang terurai disertai poni pendeknya yang tertata di sebelah kanan. Mengenakan gaun berwarna warm white berlengan pendek dan kalung emasnya berinisial G di leher.
"Aku tadi udah pesenin Confit de Canard kesukaan kamu."
"Oh, makasih, Dis."
Di atas meja tersedia beberapa alat makan dan juga gelas kaca yang telah terisi red wine. Gue kayaknya gak bakal minum ini, sih. Kepala gue gampang pusing dan berbahaya juga karena menyetir sendirian. Toh di sebelahnya juga disediakan sparkling water, lebih baik mencari aman aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...