04. Mantan : Terindah?

809 114 14
                                    

Dua tahun yang lalu

Suara deburan ombak yang lambai alunannya bikin suasana malam ini di pantai begitu tenang. Gue lagi terlentang di atas pasir menatap langit yang benderang berkat bantuan sinar bulan. Di samping gue, ada satu sosok cewek yang lagi duduk menonton ombak. Cuma ada gue dan dia di sini. Berdua, sepi dan tenang.

"Aku mau kita udahan."

Keluar satu kalimat yang gak seharusnya gue dengar. Otomatis tubuh ini terbangun seraya melihatnya yang lagi duduk memunggungi gue. Gue hanya melongo sembari mengerutkan dahi penuh tanya.

Terlihat kepalanya yang tertunduk diam, serasa gak punya nyali buat menatap gue. Kekuatannya seolah hilang untuk meneruskan kalimat berikutnya.

Gue bertanya tenang, "Kenapa, hmm? Jujur aja."

"Aku gak tau, Jen. Kayak yang....ya udah." setengah frustasi menjelaskan.

"Dis, A-aku gak ngerti apa maksud kamu."

Dia mengulum bibirnya beberapa saat, lalu dia memberikan alasannya, "I think you too....busy. Iya, gitu."

'Bohong' batin gue menahan rasa gusar dengan mencengkeram pasir.

"Busy? Gini, perasaan yang busy itu kamu deh, Dis." gue gak bisa terima sama alasannya yang kedengaran klasik banget.

"Jen, ngertiin aku please. Aku harap kamu bisa dapetin yang lebih baik dari aku."

Padahal gue baru aja dapetin pekerjaan yang sesuai sama apa yang dia mau. Ternyata tetap gak mempan buat dia. Udah 6 bulan gue berusaha pertahanin hubungan ini biar gak putus di tengah jalan. Bahkan gue udah ngerasain pahit manis hidup bareng dia selama setahun terakhir.

Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya.

"Kamu minta aku buat kerja jadi ASN, meskipun masih honorer. Aku coba dan ternyata lolos tuh buat siapa, Dis? Buat kamu." dengan lembut gue berbicara dihadapannya. Berusaha untuk gak lepas kontrol dan mengatur kata-kata.

Keliatan banget ya gue ngebucininnya.

"Aku hargain usaha kamu. It was good. Aku juga bangga sama kamu. Tapi ternyata.....tetep gak bisa, Jen."

Namanya Gendis Adelia, anak administrasi keuangan di kantor gue yang dulu. Udah mau jalan setahun usia pacaran bareng dia. Sebelum gue diputus kontrak sama perusahaan konstruksi itu, dia sempat nyaranin gue buat kerja di sektor pemerintahan.

Awalnya gue tolak karena merasa gak dapat kebebasan aja gitu kalo kerja di sana. Namun gak lama kemudian gue akhirnya luluh dan gak sengaja nemuin satu lowongan kerja yang kebetulan nyari pegawai non-ASN buat video editor di Kementerian. Iseng-iseng gue nekat lamar dan syukurnya diterima beneran. Semenjak itu jam kerja gue sedikit berubah dan waktu untuk ketemu Gendis jadi makin susah.

Mungkin itu alasan kenapa dia jadi bersikap begini ke gue.

"Are you serious, Dis?" gue mengangkat kedua alis dengan penuh harapan kalo dia cuma main-main sama kalimatnya.

Dibalasnya dengan anggukan, "You're too damn kind for me, Jen."

Masih gak percaya, perasaan ini acak-acakan dibuatnya. Gue menatapnya tajam, sedangkan dia masih memalingkan wajahnya.

"Dis." gue menyambar tangan kecilnya bertumpu pada pasir berwarna putih. Tangannya yang halus dan menghangat itu masih bisa membuat gue untuk tetap bersikap tenang.

"Jen, aku minta maaf kalo selama ini kedatangan aku udah ngebebanin di hidup kamu." barulah sekarang dia berani menoleh dan menemui kedua manik ini.

[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang