44. Baru

612 104 44
                                    

Alunan musik yang diputar berasal dari radio streaming sudah terbiasa menjadi hiburan di kala penat melanda, atau justru dianggap angin lalu saat semuanya fokus pada sibuknya. Diiringi ketikan jari di atas keyboard yang menggelitik di setiap meja kerja yang dihuni. Jangan lupa masih ada desisan mesin panas dispenser yang menyala sepanjang pagi. Bonus suara halus kipas mini berasal dari mesin CPU si otak PC. Semuanya saling beradu memadati ruangan lantai tiga.

Belum sempat duduk di meja kerja, gue disibukkan dengan peralatan liputan yang tengah disiapkan. Membuka dry cabinet, mengeluarkan kamera untuk liputan sekitar jam 10 nanti. Di depan lemari, ada seorang perempuan sibuk memunggungi gue untuk mengecek barang-barang yang tersisa di dalam kotak besi tersebut.

"Mas Jen, ini nanti kita liputan bawa tripod, kamera semuanya?" dipegangnya salah satu kamera. Namanya Viani, mahasiswa semester delapan.

"Iya."

"Terus, berdua doang?" tanyanya lagi.

"I-iya. Emang lo mau ngajak siapa lagi? Para hokage konoha?"

"Oh... Enggak, sih. Hehehe. Eh tapi Mas nanti susah gak ya kira-kira liputannya?"

Gue meliriknya datar, "Gak sampe harus guling-guling di tanah kok, jungkir balik apalagi sampe salto di depan narasumber." melempar senyuman paksa saat ditanya-tanya soal tugas liputan.

Hari Senin kemarin, gue kebagian tugas untuk jadi pembimbing magang selama tiga bulan ke depan. Seperti biasa, gue selalu bersikap ketus penuh sarkas di depan mereka. Baru memasuki hari kelima, ada aja tingkah laku mereka yang bikin gue gak terheran lagi, tarik napas lagi. Ingin memaklumi tapi tetap aja bikin gue sakit kepala menghadapinya.

Viani menghampiri Yayan, "Mas Yayan. Kata Mas Jen saya disuruh—"

Lalu dipotong, "Jen... Sama-sama jadi pembimbing juga lo, tolong mengerti gue lah..." keluhnya mengernyitkan dahi di tengah obrolan dua anak magangnya yang berdiskusi. Total anak magang di radio kebetulan berjumlah ada 3 orang. Keliatan penat mukanya kayak udah mau pensiun.

"Iya-iya, Yan. Ya udah sini deh lo Vi, balik kandang." perintah gue pada anak itu.

"Jen! Tangkap!" Sandi melempar sesuatu ke arah gue.

"Lo ngasih kunci mobil buat gue? Yes, punya dua mobil!"

Sandi menyanggah, "Enak aja! Lo pake mobil gue aja buat liputan. Isiin bensinnya tapi."

"Dih banyak mau lo! Ogah ah!" mengembalikan kunci dengan cara yang sama.

"Lo kan gak bawa mobil, Jen. Serius gak mau nih? Oke, ya udah! Sono naik busway berdua!" melengosnya.

Dengan cekatan gue berdiri hendak merebutnya lagi, "Eh, iya-iya-iya enggak deng! Siniin kuncinya."

Udah beberapa minggu terakhir gue jarang bawa mobil ke kantor lantaran jiwa kemalasan yang terus meningkat. Jadi lebih sering naik Greb-Kar meski harus mengeluarkan ongkos lebih banyak dan tip untuk driver. Gue butuh refleksi diri setelah dihantam kerjaan bertubi-tubi.

WhatsApp
05.10 PM

Zalyaaa ❤️
Mas Jeeeeennnnn
Lagi apaaaa?

Baru aja gue kelar meeting tambahan, ada satu pesan masuk dari gadis kesayangan gue. Dengan rutinitas masing-masing yang jarak jauhnya melampaui benua, gue dan Zalya kerap menyempatkan diri berkabar di setiap jam lima sore—masih jam 11 pagi kalo di negara yang masuk wilayah Eropa Barat. Dia selalu mengirim pesan saat jam kelasnya berakhir.

Hampir enam bulan sejak hubungan jarak jauh gue dan Zalya, gak merubah rasa rindu berat kami satu sama lain. Malah semakin ke sini semakin bertambah, tak jarang kami saling menghibur diri dengan kalimat-kalimat penenang.

[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang