Kretak... kretek...
Otot kaki gue sengaja diregangkan ketika tersadar dari tidur. Melihat jam weker, pukul 8 pagi menyambut diri bangun terburu-buru. Kurang dari lima belas menit lagi gue harus on screen karena meeting yang ke sekian akan dimulai. Belum lagi nanti siang gue ada rencana janji ketemu klien.
"Jen lo belom mandi ya?" sapa Sandi melalui sambungan Zoom. Wajahnya berseri banget, terlihat background-nya bergambar buku-buku di rak kayak lagi di perpustakaan.
"Gak ada yang mandiin."
"Astaga! Kayak bayi lo. Manja!" cetus Yayan sengaja. Sambil memegang raket nyamuk serius berlaga seperti atlet tenis. Sesekali terdengar suara percikan listrik yang dihasilkan dari sana. Kayaknya nyamuk di kamarnya masih pada berterbangan.
Dengan suara yang masih berat, "Baguslah dibilang bayi, daripada anak ayam." ujar gue.
Dewan yang tengah mengelus dua landaknya di pangkuan tangan jadi ikutan, "Wey itu beler lo ilangin dulu kali, Mas Jen!"
Gue panik kabur setelah mendengar ucapan Dewan, menuju kamar mandi untuk bercuci muka kedua kali di wastafel. Tapi saat mengecek di cermin, "Ah gak ada apa-apa juga." dengan tololnya gue main percaya gitu aja omongan bapaknya landak yang kelewatan ngibulnya.
"Udah ilang belom?" tanya Dewan cekikikan melihat gue mendengus sebal. Balik-balik ke layar laptop, semua dari perwakilan bidang sudah berkumpul.
Gue asal nyeletuk, "Udah dong... Tuh Bu Medina bangunin dulu Pak Dewan! Jangan diajakin nginep mulu." kini bergantian dirinya yang kena gue permalukan di depan 50 orang. Biar pada mikir abis ini.
Dewan terperangah, "Apaan dah, gak ada Medina! Ngaco lo, Mas!"
"Oh Pak Dewantara sekarang kalian tinggal bareng?" ujar salah satu orang humas.
"Dik Dewan bukannya baru abis tunangan? Kok gak sabaran?" ujar bapak-bapak salah satu petinggi di sana, rekan bokapnya Medina.
"Eh, eh enggak kok Bu, Pak! Ini Pak Jenderal nih, bercandanya kelewatan!" paniknya berusaha melindungi diri bergaya anak kecil. Sementara gue, Sandi dan Yayan terus ngakak di layar masing-masing.
Gue udah gak menghitung ini bulan ke berapa sejak kami melakukan work from home. Terkadang kami masih work from office kalo benar-benar lagi dibutuhin aja. Radio tetap berjalan seperti biasa, namun pengisinya udah gak banyak. Paling hanya ada dua penyiar dalam sehari dengan program yang jumlahnya tetap sama. Bisa dibilang double job, gue bisa sehari siaran di tiga program sekaligus. Total durasinya ngalahin konser-konser artis Ibukota.
Di sela-sela rehat, "Ucapkan selamat dong ke Pak Brian, bulan depan resmi sah kan?" kata salah satu pegawai yang membicarakan nikahan Yayan-Arina.
"Iya, Bu. Doain aja ya. Hehe. Makasih." tersipu ia menyelipkan rambut di balik telinga. Rambutnya lagi gondrong hampir menutupi matanya btw.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...