Disclaimer : This chapter has triggered & harsh words.
Happy reading! ❤️
-----------------------------------------------------------
Malam ini gue kacau, mendadak gue mengambil jaket hitam dan kunci mobil yang menggantung di dekat pintu apartemen. Gue gak peduli lagi sama kondisi ruang tengah yang masih menyala TV beserta AC. Gue berlarian menuruni tangga darurat menuju basement untuk membawa mobil menuju rumah sakit.
Arina kecelakaan.
Tiga puluh menit yang lalu, gue masih duduk menonton TV. Gak seperti biasanya yang selalu milih untuk bermain game di kamar, tiba-tiba aja kepengen nonton TV. Sambil menyantap satu mangkuk burjo hangat yang gue pesan via online. Gak ada firasat aneh sama sekali sebelumnya.
Bahkan saat pulang kantor, gue masih sempat menyemangati Yayan yang sore itu mau membawa Arina bertemu kedua orang tuanya. Sewaktu gue dengar ucapannya saat makan siang tadi, ada rasa kebahagiaan tersendiri bagi gue. Gak menyangka kalo teman gue yang dijuluki "Gembul" udah melangkah sejauh itu bareng Arina. Ya, gue turut senang melihatnya.
"Bang Jen... Ini gue Wawan..." Wawan menelpon dengan nada cepat.
"Halo. Iya gue tau lo Wawan."
"Sorry Bang, lo lagi sibuk gak?"
"Sans, gue lagi nonton TV, kenapa?"
Terdengar hembusan napas beratnya dari seberang sana. Butuh bantuankah?
"Bang gue mau ngabarin..."
"Arina jatoh di depan kantornya, dia mau dioperasi malam ini. Bang Yayan minta gue kabarin anak-anak radio termasuk elo, Bang."
Mendengar kata "operasi" aja, gue merasa yakin kalo apa yang dialami Arina saat ini pasti sangat serius. Gue gak tau apa yang terjadi sebelumnya dengan mereka. Tunggu, bahkan gue dapat kabar ini dari Wawan. Pikiran negatif terus bermunculan tentang mereka bertiga. Semuanya seakan kembali seperti saat kejadian liputan malam itu.
Gue berkali-kali menelpon Yayan menuntut kejelasan apa yang sebenarnya terjadi, namun tak kunjung diangkat. Sementara gue berusaha menelpon Wawan balik, "Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."
Gue keringetan, jantung gue mencelos campur aduk gak karuan. Tubuh gue berguncang dibalut perasaan cemas selama perjalanan ke rumah sakit.
Hingga akhirnya muncul satu panggilan masuk, Dewan.
"Mas, lo lagi jalan ke rumah sakit kan?" tebaknya. "Gue titip salam ya buat Mas Yayan. Gue kaget banget denger kabar dari Wawan soal Arina. Gue tau lo pasti panik banget, tapi plis jaga kontrol lo waktu ke sana." Dewan pun tahu seberapa marahnya gue sekarang pada kedua orang itu.
"Gak bisa anjing! Mereka berdua bener-bener udah bikin hidup Arina hancur!" frontal gue mengucap kata kasar.
"Gue cuma bisa kasih lo pesan itu, Mas. Semoga Arina kondisinya cepet membaik. Gue besok ke sana bareng Medina."
Panggilan berakhir, gue masih menunggu lampu merah yang belum berubah menjadi hijau. Pikiran gila gue saat ini rasanya ingin menerobos di tengah keramaian dari lawan arah, namun hal itu masih bisa tertahan.
Gue memarkir mobil di sekitar area IGD di mana tempat Arina masih di rawat sementara. Setelah turun, gue berlarian menuju gedung yang berjarak 200 m. Sesampainya di sana, gue melihat Yayan mengenakan kemeja putih yang penuh dengan bekas darah pada bagian dada hingga perutnya. Raut wajahnya frustasi, dipenuhi bekas linangan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...