"Mas, nanti pulangnya coba lewat Jl. Merbabu aja kali ya? Di sana biasanya sepi sih gak terlalu banyak mobil. Gak bakalan kena macet."
"Bentar, nanti cek maps pas udah di mobil."
Pagi tadi gue dan Zalya berangkat liputan di daerah Jakarta Barat. Karena perjalanan sewaktu berangkat kondisi macetnya bikin gue sakit kepala, jadi kami berniat mencari alternatif akses jalan lain kembali ke kantor saat liputan udah selesai. Biar pas jam 3 sore nanti gue gak telat siaran.
Kami masih berada di area parkiran menuju ke arah mobil gue yang terparkir, jaraknya sekitar 70 meter dari luar gedung. Zalya berjalan membawa dua kotak nasi dan juga dua botol minuman teh. Gue yang berada di belakangnya membawa peralatan liputan. Tumbenan banget nih lagi pada anteng alias akur, gak kayak hari-hari biasanya yang selalu penuh keberisikan ejekan dan hinaan.
"Mas, mau dimakan di mobil apa gimana nih?" tanyanya berbalik badan.
"Isinya apaan sih?"
"Nasi lah."
"Iya gue tau, maksudnya lauknya apaan?"
"Nasi bakar sama ikan bakar, Mas."
"Ya udah di mobil, tapi jangan ngotorin ya?"
"Enggak elah. Takut amat sih."
"Baru abis gue cuciin soalnya. Eh Zal tolong bukain bagasinya dong." gue beneran sedang dalam kondisi yang ribet banget.
Tas berisi tripod berjumlah dua yang tersampir di kedua bahu, satu tas berisi dua kamera ada di tangan kanan. Di tangan kiri membawa satu laptop buat backup data karena hasil laporan liputannya langsung dikirim ke kantor buat breaking news.
"Kunci mobilnya mana?"
"Di sini nih, di tas tripod yang bagian depan." gue seraya mengarahkan tangan sebelah kanan.
"Bentar, Mas Jen diem dulu." kemudian mendekati gue—maksudnya tripod dan membuka resleting bagian depan.
"Udah nih." ujarnya memamerkan kuncinya.
Setelah semua barang-barang masuk, kami memasuki mobil dan makan bareng dengan posisi jendela yang dibuka. Aroma nasi bakar menguar setelah kotak nasinya terbuka. Masing-masing fokus sama makanannya, ada dua kemungkinan sih, antara emang keburu laper atau rasanya yang enak banget.
Setelah menyantap beberapa menit, Zalya mulai membuka obrolan, "Mas jadi abis ini kita udah gak ada kerjaan?"
Gue mengangguk, "Enggak. Udah dikerjain sama Brian."
"Uhuk!" yah kan batuk-batuk nih bu haji.
"Pelan-pelan, baru juga gue cuma nyebut nama Brian doang langsung keselek gitu. Kayaknya interest banget di telinga elo." lirik gue mulai meledek.
"Gak, kok tumbenan banget Mas Jen manggilnya Brian. Biasanya kan...uhuk...manggilnya Gembul."
"Jeli banget lo Zal merhatiin gue ngomong?"
"Dih Geer!" kilahnya berpaling dan menyantap satu suapan nasi.
Gue hanya terkekeh pelan menghabiskan nasi yang tersisa. Untung aja Zalya tersedaknya gak sampe parah. Gue udah deg-degan aja kan ngeliatnya dari tadi.
Deg-degan ngeliat makanannya yang takut tumpah. Peace! Ini demi kebersihan lingkungan mobil Jenderal Parvi Anggara. Harus selalu bersih dan wangi.
Ngomongin Brian, dia sempat curhat ke gue soal kejadian Zalya. Dia beneran kaget sewaktu tangannya tiba-tiba dirangkul Zalya saat makan siang di depan Arina. Barulah Zalya minta maaf karena gak tau tentang statusnya Brian. Yayan sih udah maafin, tapi semenjak itu kedekatan mereka jadi merenggang dan hanya berinteraksi kalo lagi ada urusan kerjaan aja.
![](https://img.wattpad.com/cover/248578740-288-k80776.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
General Fiction[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...