Perpisahan Zalya sama anak-anak kantor masih belum selesai rupanya. Di lantai tiga terdapat makanan sushi yang berjejer hingga 10 kotak memanjang di atas meja bundar. Dia sengaja memesan sebelum acara workshop berakhir. Bersyukur dapet rejeki lebih, kami pun berkumpul lagi untuk yang kedua kalinya dan menikmati bersama-sama.
Sandi mencelupkan sushi salmon ke dalam kecap asin dan bubuk cabai, "Zal, sumpah ini enak banget." pujinya berbinar saat melahapnya.
"Hehe. Abisin dong kalo enak. Mas Dewan, ambil lagi."
"Iya, Zal. Nih gue ngambil." ujarnya mengambil satu spicy chicken roll dilapisi nori. Selanjutnya dia menambah bumbu-bumbu yang ada di meja.
Tangannya mengarah ke hadapan gue, "Mas Jen, Aaaaa..." gue seneng nih kalo ada yang perhatian sama gue, "Buat gue, Dew? Pacar lo aja dulu."
"Enggak ini khusus Mas Jen. Kalo Medina mah udah sering. Buruan! Aaaa..." langsung gue menerimanya sekali lahap. Senyum-senyum Dewan melihat gue sambil menahan tawa.
Bentar, kok lidah gue rasanya jadi sejuk-sejuk pedes kayak bau odol sih? Mulut gue terasa bergetar ditambah kedua alis gue tertaut, "Kok rasa ayamnya aneh sih?"
"Bukan aneh. Mas Jen barusan dijahilin tuh sama Mas Dewan, dia tadi gantiin isi ayamnya jadi wasabi semua." pungkas Zalya memberi tahu.
"KAMPRET LO DEW!" gue menggeram di depannya spontan melempar botol Akua di meja yang entah siapa pemiliknya. "MULUT GUE JADI KAKU NIH!" dia hanya ngakak berjalan mundur ke belakang. Gak sengaja botolnya terjatuh di bawah hingga mengenai kakinya kemudian terpeleset. Bokongnya membentur ke lantai dan terdengar suara remukan botol plastik. Ia merintih kesakitan. "Mampus lo!" umpat gue kehabisan kesabaran.
"Kualat kan kamu, Dew! Udah ah jangan jahilin orang yang lebih tua. Bikin malu aja!" hujat Medina lalu menolongnya berdiri.
Jadi makin tersulut gara-gara sahutan Medina, "Lo juga sama aja! Tua-tua! Lo kan seangkatan sama gue, Me?! Ngacalah!"
Seketika sadar, "Eh iya, maaf bro! Kalem. Jangan galak dong." kekeh Medina.
"Lo orang lagi makan juga dijahilin aja sih, Dew." tutur Sandi.
"Tau usil banget lo! Awas aja." gue merasa dendam.
"Iya deh, Maaf." khilafnya menyesal.
Memasuki jam 4 sore, waktunya jam pulang. Sandi yang bersiap turun sedang menelpon Wardah yang katanya mau ambil pesanan souvenir pernikahan. Dewan dan Medina udah turun ke bawah. Zalya juga masih membereskan barang-barang di meja kerjanya. Kelihatan dari sini karena kondisi pintu sedang tertutup. Sedangkan gue? Sibuk mengurus email ke klien yang lagi nawarin harga sketch buatan gue.
Sandi berjalan ke arah pintu, "Barang lo banyak juga, Zal?"
Terpanggil, Zalya menyahutnya saat menata isi barang di kardus berwarna cokelat, "Hehe. Iya, Mas San. Mas Sandi mau pulang?"
"Iya, mau jemput yang tersayang dulu tapi. Jangan lupa ya dateng bulan depan." katanya seraya tersenyum cerah dan mengangkat kedua alisnya sekilas. Gue menoleh ke mereka berdua.
"Hehe. Iya, Mas. Makasih undangannya, semoga lancar."
"Amin. Gue duluan ya. Jen, cabut yok! Ngurusin duit mulu lo." ajaknya.
"Iya duluan aja sih, biasanya kan juga gitu. Nih duit juga bakal ngadoin elo kali!" ungkap gue jutek.
Sandi tertawa, "Ya udah. Gue doain semoga laku. Jadinya abis maghrib kan ya?" maksudnya pergi ke RS.
"Iya. Ntar abis dari kantor gue cawnya, Pak."
"Ya udah. Nanti langsung ketemu di sana aja, Bye!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Ficción General[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...