Please re-read chapter 45 "Wisuda" before continue this chapter.
Happy reading!-----------------------------------------------------------
Zalya Lirania POV
"Hmm... First impression kamu ketemu aku gimana?"
Kegugupanku mencuat saat Mas Jen memintaku bercerita tentang pandangan pertamaku sebagai cerita pengantar tidurnya. Memang sih selama ini aku belum cerita banyak soal awal pertemuan kami yang menurutku terlalu dingin sambutannya. Haha. Pada saat itu aku berpikir, mungkin dia sedang dikejar target kerjaan. Atau memang pada dasarnya ia memiliki kepribadian seperti itu. Tapi rasanya aneh sekali kalau kini aku harus menceritakannya melalui video call, dihadapannya pula.
"Ih ngapain? Yang lain aja." tolakku halus.
"Lho kenapa? Kan belum tentu aku dengerin semuanya."
"Bohong. Gak percaya." gelengku.
Namun dirinya tetap berusaha, "Aku butuh lima menit sih untuk gak sadar. Bisa aja kamu cerita lebih dari sejam."
Aku pun kembali menimbang atas usaha tawar-menawarnya. Dalam pikiran aku sibuk mengingat-ingat kembali pada masa itu, menyusun kerangka segala kronologi yang terjadi di antara aku dan Mas Jen. Kuakui memang terlalu banyak sisi menyebalkan darinya yang amat mendominasi. Aku pun pernah merasakan tidak betah karena ucapan-ucapan sarkasnya yang selalu mengundang reaksiku untuk membalasnya.
Ada sedikit rasa bersyukur kenapa saat itu aku berada dibawah bimbingannya Mas Yayan. Yang membuatku sempat terlena akan kekaguman karena perhatiannya, hingga aku menjadi korban fitnah berkat kesalahan yang aku buat di masa lalu. Aku tak bisa membayangkan jika Mas Jen menjadi pembimbingku.
Mungkin dia akan selalu menghakimi diriku yang terlalu sering meminta maaf dan suka bicara tanpa berpikir saat berbicara. Ketika dia tidak menjadi pembimbingku saja ia bersikap jutek seperti itu. Tidak ada ekspresi ramah-ramahnya sama sekali. Aku berpandang negatif, bisa saja dia dengan tega memberiku hasil nilai buruk di laporan magangku tanpa ampun.
Takut terlalu lama berpikir selagi dia menunggu jawaban. Kiranya tak ada salahnya juga untuk berbagi sudut pandangku terhadap editor Radio yang memiliki postur tubuh jangkung seperti tiang listrik ini. Toh dia bilang ingin segera tidur, terlihat mulutnya tak sengaja menguap. Huh, semoga saja dia benar cepat pulas saat itu juga.
"Ya udah. Buat Mas Jen nih, ya. Tapi jangan ketawa, kalo ketawa aku langsung tutup teleponnya," ujarku bicara padanya. Posisi kamera kami saat video call memang sudah saling memiringkan tubuh di atas kasur. Dia tidak memegang HPnya, kedua tangannya terlihat menyilang di dada. Bisa saja dia guling atau bantalnya digunakan sebagai penyangga ponsel pintarnya itu agak tetap bisa tersandar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Ficción General[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...