"Mas Jen, bangun! Ayo turun sebelum matahari nongol." samar gue mendengar panggilan dari seseorang. Paha gue terasa ditepuk perlahan berulang kali, lalu menggerak-gerakkan badan gue.
Mata masih terpejam, "Eng.... Ntaran siang ajalah. Gue masih ngantuk," lirih gue lalu kembali terlelap.
Namun dia bersikeras, "Gue tinggal nih! Sampai ketemu di bawah!" selanjutnya terdengar suara grasak-grusuk. Semilir angin dari luar tenda tiba-tiba menghantam masuk berkat ditinggal keluar sosoknya kemudian. Hawanya bikin gue makin enggan terbangun.
Tak lama dia masuk ke dalam tenda kembali, "MAS! ZALYA DI SINI MAS!"
"HAH MANA?!" seketika gue tersentak kaget hingga tersadar. Baru inget, gue kan masih hiking, udah pasti lagi di gunung. Ngapain Zalya bisa ada di sini?
Raut wajah gue cemberut. Kampret. Gue dikibulin. Nyatanya pemandangan di depan gue hanya ada Oji beserta kabut tebal dibaliknya. Kami masih berada di kawasan Gunung Ijen, yang terkenal dengan ketinggian mencapai 2779 mdpl. Oji menatap gue masih setengah ngantuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya seakan keheranan dengan tingkah gue sekarang.
"Nah kan. Emang nih harusnya gue bangunin elo tuh sambil nyebut nama-nama cewek dulu biar bangun. Udah mau jam 6. Ayo turun, Mas bro..." ajaknya menepuk kedua bahu gue. Setelahnya ia beranjak keluar dari tenda.
"...Abis ini lo telepon dah tuh gebetan lo, kasian gue ngeliat lo tidur ngigoin nyebut nama dia mulu. Makanya jadi cowok jangan galak-galak. Pfft." kritiknya yang tidak berdasar.
Sejenak menelaah ucapannya, "Sok tahu lo, Ji." menatapnya serius.
"Yaelah, Mas. Dikira kerjaan ngigo lo ketauannya baru-baru ini doang? Dari dulu juga sering begitu."
Lalu dia mengeluarkan sebuah benda mini berbentuk persegi panjang, "Nih, buktinya udah kerekam di sini. Kalo Mas mau denger...."
"OJI!!!!! SI...alan lo yak!" Argh, gak bisa gue menyebut kata kasar sembarangan di sini. Untungnya bisa gue tahan.
"...jadi lo harus bayar dulu ke gue. Dijamin trusted." senyumnya penuh ejek. Lalu menyimpan alat perekam itu kembali di kantong jaketnya. Beneran dijadiin korban pemerasan nih gue sama si Oji, gak selesai-selesai. Bikin penat kepala gue aja nih kerjaannya!
Tiga hari sudah gue dan Oji berpetualang mendaki Gunung Ijen. Sebenarnya gak cuma berdua sih, ada lagi dua temannya Oji yang turut serta. Biasanya orang-orang yang datang ke sini akan dikenakan biaya masuk dan lain sebagainya. Tapi, berbeda dengan kami yang bisa masuk secara cuma-cuma berkat bantuan dari salah satu temannya Oji yang kebetulan tinggal di sekitaran kaki gunung. Gue merasa beruntung karena duit gue kembali aman. Haha.
Suasana tenang dan hawa sejuk di puncak membawa gue terhanyut dalam sebuah pikiran sejak kedatangan di sini. Di atas pinggiran tebing yang dikelilingi pemandangan asri anak-anak gunung, gue merenungi satu hal tentang beban yang dialami selama ini. Yah, hidup sendiri sejak usia 18 tahun membuat gue banyak melakukan perubahan secara keseluruhan.
Kalo diajak flashback sebentar, gue dulu sempat menjadi anak yang sangat nurut sama orang tua. Mungkin dari statusnya sebagai anak bungsu, gue cenderung sering mengalah sama kakak gue-namanya Puspita, jarak usia kami terpaut hingga 10 tahun. Karenanya, gue selalu menerima apapun keputusan yang dikasih sama Bokap-gue menyebutnya "Bapak". Termasuk kuliah di jurusan Teknik Sipil, menuruti impiannya beliau sejak muda. Karena Kak Pita memilih kuliah jurusan Pendidikan Luar Biasa, sangat jauh dari ekspektasi harapannya Bapak.
Saat di tahun kedua, memasuki semester empat. Gue berubah menjadi anak yang pembangkang. Gue gak bisa mengenal diri gue sendiri. Keputusan terbesar gue saat itu adalah ingin keluar dari kampus karena merasa terjebak dan salah jurusan. Makin kesini gue gak minat ngelanjutin kuliah. Gue sering bolos kelas di semester 5 sampai diberi teguran keras dari Bapak karena mendapat nilai E di beberapa mata kuliah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] BETWEEN THE DOOR - The Announcers Series ✔
Tiểu Thuyết Chung[COMPLETE] "Halo, Pak....Jenderal?" sapanya pelan melambai-lambaikan tangan. "Panggil Jen aja, Mas Jen." sahut gue kemudian. Dua tahun bekerja sebagai editor di The Announcers Radio, Jen dikenal sebagai sosok mak comblang salah satu rekan kerjanya...