16; Too Obstinate to See The Truth

399 78 8
                                    

PUKUL lima tepat.

Tunggu aku pukul lima dan kita akan pulang bersama.

UNTUK beberapa sekon yang tanpa sadar telah dinanti penuh harap, kedua pesan tersebut berhasil menjadi distraksi pada pekan belajar hari itu, dalam sekejap sukses membuat sang gadis meletakkan catatan serta buku referensinya dan beralih menatap ponsel dengan seulas senyum samar.

Well, meski harus diakui tidak ada yang istimewa dari balasan Wonwoo―hanya dua balon pesan singkat. Namun bila diulas kembali, agaknya itu pertama kali kekasihnya membalas pesan dengan sebuah kalimat ailih-alih kata singkatan tidak jelas―percayalah, membacanya bahkan membuat Nara geram sendiri. Ia merasa seolah tengah bertukar pesan dengan seorang remaja perempuan yang berada dalam masa-masa pubertas dan rentan merajuk, seperti k (untuk oke, katanya); g (berarti tidak setuju), dan y (singkatan dari 'iya').

Heran, padahal punya sepuluh jari dan semua sehat. Tapi Jeon Wonwoo agaknya lebih suka menyimpan energi untuk hal-hal tidak bermanfaat lain.

Seperti menghabiskan puluhan ribu won untuk naik carousel dan bianglala, misalnya―hal yang ia lakukan dua hari lalu setelah dimabuk oleh teror rumah hantu. Ah, mengingat kejadian itu mau tak mau membuat Nara terkekeh geli. Padahal kataya rumah hantu hanya rekaan. Padahal awalnya Wonwoo berkata dengan penuh percaya diri bahwa rumah hantu dapat digunakan oleh 'oknum-oknum tak bertanggung jawab' sebagai tempat kencan untuk saling bermesraan. Namun mengulas memori akhir pekan lalu, Nara jadi tak dapat menahan buncahan rasa geli melilit lambut.

Jeon Wonwoo itu payah, lelaki bermulut besar tanpa nyali yang memadai. Sabtu malam, tepat setelah mereka pulang dari taman bermain, pemuda itu tak berhenti meneror Nara dengan belasan pesan tak berguna. Mungkin kejadian itu pula yang mengubah sikap cueknya dalam media sosial menjadi begitu aktif dan banyak bicara―bahkan untuk hal-hal tidak penting seperti, "Aku masih takut.' Kemudian, 'Temani aku tidur.' Dan satu kalimat terakhir yang membuat Nara mengernyit ketika menatap ponsel, 'KIM NARA, SERIUS BAGAIMANA BISA HANTU MERANGKAK TADI MASIH TERNGIANG DI KEPALAKU?'

Great, pikir Nara. Malam itu ia berakhir tidur pukul empat subuh, menemani Wonwoo bergadang melalui telepon selama nyaris lima jam.

Gadis itu kemudian menggeleng pelan, menarik paksa pikirannya untuk kembali ke realita. Agaknya akhir-akhir ini Wonwoo berubah bagai magis aneh yang sering menyusup dalam pikirannya tanpa sadar, mengulas senyumnya dan untuk beberapa sekon membuat jalan pikirannya buntu. Semakin lama menghabiskan waktu dengan Wonwoo, semakin ia sadar betapa konyolnya pemuda itu.

Nara menghela napas, membuka laptop seraya menata beberapa lembar kertas catatannya di atas meja kantin―lengkap dengan segelas es lemon tea dan sebungkus keripik kentang rasa madu. Ia memiliki dua jam waktu bebas sebelum Wonwoo keluar kelas, dan waktu sepanjang itu dapat digunakan untuk kembali mengevaluasi data target yang diberi Hades. Namun kala ia menyesap minumannya dan hendak memasang airpods, ekor matanya mendadak menangkap presensi Jihoon berdiri tepat di depan bangkunya. Sendirian, tak bersama Seokmin atau Chani.

Untuk pertama kali Nara berharap, ada keajaiban yang membuat Seokmin segera muncul di antara mereka sekarang.

Gadis itu tersenyum kaku, berusaha untuk membalik seluruh kertas dan menyelipkannya di bawah laptop. Berdeham sedikit, Nara menaikkan alis sedikit kala menyapa ramah, "Tumben sekali datang kemari sendiri. Aku kira kau sedang ada kelas bersama Wonwoo dan―"

"Kau menunggu Wonwoo, huh?"

Kalimat Jihoon singkat, padat, dan lugas. Dari ekspresinya pun, Nara tidak dapat mengatakan apa lawan bicaranya sedang marah atau gusar, pula ia tak dapat memrediksi apa Si Kepala Batu itu hendak kembali mengritiknya tentang sikap atau apapun. Percayalah, makian Jihoon adalah hal terakhir yang mau Nara dengar di siang cerah kali ini.

Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang