PEMUDA dengan kaos kusut, jaket usang yang berlobang, dan jeans setengah basah itu bernama Choi Seungcheol. Saat pertama kali mendengar namanya, Nara nyaris tak berkedip sebab terkesima. Nama tersebut diucapkan dengan tegas, terdengar teguh sekaligus teduh, persis menggambarkan bongkahan batu koral di tepi laut. Seolah sang pemberi nama berharap kelak putranya akan tumbuh menjadi pria yang kuat. Seolah di dalam sana―dalam sebuah nama, bertabur mimpi dan harap agar kerasnya kehidupan tak akan menggentarkan langkahnya.
Sebab manusia lahir oleh sebuah harapan.
Namun hal tersebut tak berlangsung lama kala si gadis mulai menatap iris Seungcheol. Matanya memang tak setajam mata Wonwoo, tapi kedua iris tersebut transparan: mampu membuka secara gamblang perasaannya detik itu juga. Alih-alih keyakinan, keteguhan, atau kekuatan yang Nara pikirkan, di dalam sana justru terdapat gumpalan rasa yang ditahan-tahan―entah dendam, murka, kesal, atau sedih―bercampur menjadi satu kesatuan yang membuat pemuda itu tampak kalut.
Ia juga sama rapuhnya.Seungcheol mendengkus sinis, memalingkan pandangan dan mengusap hidung kasar. Nara sempat melihat Wonwoo meremas jemarinya sendiri, suaranya bahkan sempat terdengar bergetar kala berkata, “Kau sudah dengar? Ibu―”
“Kau kira aku tak tahu?” Pemuda itu menukas frustrasi, “Sial! Kenapa aku masih harus terseret kasus sialan itu di saat aku benar-benar muak berurusan dengan keluargamu?!”
Wonwoo dapat merasa tenggorokannya tercekat. Ia mengerjap, berusaha sebisa mungkin menampung seluruh air mata agar tak luruh sekarang. Menangis di hadapan musuh sama saja dengan bunuh diri. Pemuda itu kira setelah tadi melampiaskan seluruh rasa sakit dengan menggores lengan akan membuatnya mati rasa. Ia benar-benar berpikir kalau melampiaskan seluruh amarah dan kekesalannya dalam bentuk luka di kulit akan membuatnya merasa lebih baik.
Namun, tidak.
Hatinya tak pernah bisa berhenti untuk merasa.
“Kau tidak tahu apa yang polisi sebabkan di rumahku, Wonwoo? Mereka masuk dengan paksa, menggeledah kasar, bahkan sempat membuat Airin ketakutan.” Iris Seungcheol berkilat murka. Nadanya kembali meninggi, terdengar begitu putus asa saat melanjutkan, “Mereka pikir, aku pernah bertransaksi dengan ibu tirimu sebab nomorku ada di panggilan teratasnya.”
Tepat saat itu tanda tanya kembali berkeliling dalam benaknya. Nara menelan saliva lambat, berusaha untuk kembali memendam kuriositasnya sekarang.
Panggilan teratas ibu tiri Wonwoo?
Airin?Siapa pemuda ini?
Di depannya Wonwoo masih bergeming. Pandangannya kosong, jemarinya terkepal, perlahan mulai gemetar di belakang celana. Ia memberi jeda beberapa sekon bergulir dalam heningnya malam, sebelum kemudian menyahut serak, “Bagaimana kabar Airin?”
Agaknya kalimat tersebut bukanlah respon tepat yang Seungcheol harapkan. Pemuda itu menoleh, seluruh campuran emosi bertengger dalam kedua iris legamnya. Air mukanya kacau, pipinya merah padam. Ia sempat membuka mulut, hendak seolah akan menyahut namun detik berikutnya hanya terdengar rentetan tawa sumbang.
“Apa yang mau kau dengar, hah? Bahwa ia baik-baik saja? Bahwa ia merindukanmu dan Si Berengsek Jungwoo?” Seungcheol menjeda, menggeleng dengan luka dalam kedua bola matanya. “Kau benar-benar tak dapat dipercaya, Jeon.”"Aku sedang tidak ingin bertengkar sekarang," sela Wonwoo datar. Nara sempat melihat pemuda itu melirik singkat ke arahnya sebelum kembali menghadap Seungcheol. "Kalau tak ada yang akan kau bicarakan, lebih baik pulanglah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
Fiksi PenggemarHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...