KIM Nara yakin rasa kelat yang merangkak pada salivanya pagi itu tidak disebabkan oleh secangkir espresso pekat yang ditelannya pagi buta, bukan pula lantaran teh hijau tanpa gula yang menjadi pengganjal perut semalam. Namun mengingat apa yang terjadi belasan jam lalu, rasa getir tersebut kembali datang dan menetap di sana; bercokol pada lidahnya, turun dan bergelantung di kerongkongan sebelum sampai ke lambung menyisakan lilitan perih dalam tubuh.
Kini, menapaki bangunan kampus bagai masuk ke dalam sarang lebah di tengah musim panas. Nara dapat merasakan kehadirannya menjadi pusat atensi mahasiswa. Saat ia melewati koridor, saat ia memasuki ruang ujian, atau saat ia pergi ke toilet perempuan. Bisikan terus menyeruak, gosip kian merambat luas. Para mahasiswa bahkan tak repot-repot mengecilkan suaranya kala berkata, "Lihat perempuan itu? Mahasiswa jurusan matematika, kekasih Wonwoo. Iya, benar; Wonwoo yang ibunya terjerat kasus narkoba itu."
Nara tersenyum miris. Memorinya masih merekah panas dalam benak. Belum genap satu bukan sejak Wonwoo kembali ke kelas, sebuah akun tanpa nama mendadak menyebarkan berita murahan tentang keluarga inti Wonwoo ke seluruh grup kelas.
Dalam hitungan jam, berita itu menyeruak dengan sangat cepat, menjangkau seluruh insan dan kini menjadi topik pembicaraan di sela-sela jam makan siang.
"Putra seorang pembunuh."
Satu hal yang membuat Kim Nara tak habis pikir: tak seorangpun yang tertarik untuk mengungkit siapa sosok di balik pemilik akun anonim tersebut. Seolah mementingkan pengirim dan akurasi berita adalah sia-sia, asal mereka mendapat bahan obrolan di sela makan siang maka semua akan baik-baik saja.
Asal bukan nama mereka yang diseret dalam gosip mahasiswa.
"Lagi-lagi tidak dijawab," Seokmin meremas ponselnya frustrasi, untuk kesekian kali menyelipkan rutukan di bawah hela napas kala tahu nomor Wonwoo tak aktif. Sehabis ujian hari kedua, Seokmin sengaja mengumpulkan Jihoon, Chani, Jeonghan dan Nara di kamar musik rahasianya di daerah Gangnam. Air mukanya tampak lelah, pada kelopak matanya tergantung kekhawatiran sekaligus kekesalan yang ditahan-tahan. "Siapa idiot bodoh yang berani menyebarkan berita ini?"
"Sudah dua hari Wonwoo bolos kelas." Jihoon mengusap wajah penat. "Bisa-bisa ia tidak lulus kalau terus melewatkan ujian."
"Lulus?" sambar Seokmin, tertawa nanar. "Kau pikir ia masih dapat masuk kelas setelah berita itu menyebar?"
"Kau tahu bukan itu maksudku," Jihoon membalas tak terima, "Semua itu hanya rumor―berita yang belum diketahui kebenarannya dengan pasti. Kalau ia masuk dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, semua mahasiswa akan percaya bahwa itu hanya berita palsu."
"Bagaimana dia akan masuk kalau seluruh kampus kini tahu berita itu?" Seokmin lantas berdiri, berteriak murka hingga urat lehernya terukir jelas. Ia tidak peduli dengan tatapan membulat Chani dan Nara, dan tak lagi terpikir untuk 'jaga image' di depan senior Jeonghan. Peduli setan, hatinya sudah mendidih. Pikirannya kalut. Ia bukannya tak tahu kemungkinan buruk yang bisa terjadi andai Wonwoo menyendiri seperti ini. Terakhir kali pemuda itu masuk kelas, Seokmin dapat melihat sayatan pada pergelangan tangannya.
"Tidak semua orang tebal wajah sepertimu, kau tahu?"
Jihoon terkekeh sinis. "Kau pikir kau punya muka?"
Detik selanjutnya bagai kekacauan. Terdengar pekikan Chani kala tanpa diduga-duga, Seokmin mendaratkan tinjunya pada rahang Jihoon. Darah mengucur, rasa besi berkarat memenuhi rongga mulut. Jihoon tentu tak tinggal diam, pemuda itu bangkit, tanpa ragu lantas mencengkram kerah kemeja Seokmin kasar dan mendorongnya hingga jatuh mengenai sudut meja. Suasana memanas, Chani berteriak sementara Nara hanya bisa bergeming di tempat; terlampau terkejut untuk sekadar mengucap kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
FanfictionHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...