15 Juni 2019
Diary dengan motif geometris payah berbalut sampul cokelat yang tua, kuno, dan tampak membosankan ini adalah pemberian Jungwoo untuk ulang tahunku yang ke-15. Aku tidak pernah suka menulis. Saat masuk sekolah dasar, tulisanku yang ceker ayam sering memicu keributan antara aku dengan guru―guru menilainya sebagai kemalasan, aku memandangnya sebagai sebuah seni. Bodohnya, Si Berengsek Jungwoo itu malah menghadiahkanku buku diary, padahal aku tidak pernah suka menulis.
"Untuk menjadi teman ceritamu," katanya, "kau tahu kau tidak bisa mengandalkanku terus."
Saat itu aku menatapnya dengan tatapan aneh, sedikit kesal dan kecewa karena kupikir ia akan memberi satu set komik horror keluaran terbaru. Kukira, ia sahabat-ku. "Keparat, memang kau pikir kau siapa bisa bicara seenaknya begitu?"
Jungwoo tertawa. Kami―atau dia, setidaknya―punya cara berbeda dalam mengekspresikan candaan. "Dasar sialan tak tahu diuntung. Kau lupa siapa yang menyusup ke rumahku pukul empat subuh?"
"Itu karena ayah membawa jalang itu lagi," jawabku, mengendikkan bahu sedikit gengsi. Kuingat hari itu aku memantik rokok, menawarkannya pada Jungwoo tetapi dia menolak. "Kalau tidak, aku juga tidak akan mengusikmu lagi."
Kini, tawanya berhenti, malah terganti dengan secercah senyum tipis. "Baguslah," sahutnya singkat. Aku ingat ada perasaan aneh yang menggelitik hatiku saat itu, tapi aku mengabaikannya. Kami kemudian berbaring di atap sekolah melihat matahari terbenam dalam diam.
Padahal dia benar, dia selalu benar.
Bahkan sampai detik inipun, aku selalu mengandalkannya.
UNTUK beberapa jam yang terasa bagai belasan hari, kematian terasa begitu dekat di depan mata.
Selama nyaris empat jam di sana, Nara hanya bisa berdiri dan menatap, sesekali jemarinya mengepal meremas baju. Tiap melihat ruangan itu, tiap mencuri pandang pada sosok yang berbaring di tengah kasur, jantungnya terasa seolah ditekan. Dadanya sakit luar biasa.
Sebab Jeon Wonwoo di sana bukanlah Jeon Wonwoo yang ia kenal. Dalam bilik pengap yang terasa sesak tersebut, Nara melihat lewat kaca luar bagaimana kekasihnya hanya dapat terbaring lemah. Bermacam-macam selang menancap pada kulitnya, menempel, menggandoli, merekat pada tiap titik di tubuh jangkungnya. Dadanya naik turun walau matanya terpejam, jari-jarinya tergeletak payah di atas ranjang. Beriringan dengan pemandangan yang menyakitkan tersebut, Nara samar-samar menghirup bau disinfektan dan obat-obatan menyengat.
Gadis itu menggigit bibir kuat-kuat.
"Kecelakaan itu mengakibatkan pendarahan yang cukup serius di bagian otak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi untuk kasus ini, kami hanya bisa berharap pada keajaiban."
Suara dokter di seberang sana masih melantun dalam pikirannya. Nara mengepal tangan lebih kuat, kuku-kukunya tertancap semakin dalam namun gadis itu tak peduli. Rasa sakitnya hanya bagai sengatan kecil untuk menjaga pikirannya tetap waras. Lebih-lebih saat memejamkan mata dan seluruh gambar tersebut semakin jelas di dalam kepala: darah-darah dan luka, tubuh yang terpental, bunyi klakson yang membelah malam.
Kemudian, suaranya: teriakannya yang histeris dan ketakutan.
Mozzakh benar-benar keterlaluan.
Pikirannya buyar, seluruh rasa panas dan emosi yang menjalari kepala perlahan-lahan pudar kala pundaknya disentuh seseorang. Gadis itu menoleh, menemukan Seokmin dengan kedua mata bengkak dan wajah merah, dengan canggung mengambil posisi duduk di sampingnya.
Seketika itu Nara sadar, ia bukan satu-satunya yang terluka.
"Jihoon dan aku baru mengurus administrasinya." Suara serak pemuda itu terdengar, jauh lebih rendah dan serak dari suara Seokmin yang biasa. Ia sempat mengusap surainya yang berminyak, mencoba berdeham untuk menetralkan suasana walau malah mengirim sensasi canggung yang luar biasa. "Si Sialan itu menghabiskan ratusan ribu won untuk perawatan inap. Dasar perampok gila, haha! Tapi tidak apa-apa, nanti aku akan ... aku pasti akan meminta gantinya pada Wonwoo. Kalau Si Bodoh itu sudah bangun, aku akan―"
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
FanfictionHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...