"DATA untuk bulan ke lima, hari ke-12 berada di bumi: aku masih belum dapat merancangkan kematian target."
"Anda yakin, nona? Hades tampak sedikit uring-uringan. Ini seperti bukan pekerjaan Eleft, tangan kanan dewa."
Sepersekian sekon berikutnya, hanya dengkus dan tawa miris yang mengudara―samar-samar beradu dengan suara rintik hujan yang mengetuk jendela kaca. Nara duduk bersila, menatap marmer lantai dengan pandangan hampa. Tangan kanan dewa, katanya. Kalimat Foniash yang kelewat realistis itu seolah baru menghantam seluruh dinding kesadarannya bertubi-tubi; kembali mengingatkan si gadis bahwa selalu ada tuntutan dalam tiap napas yang dihela, ada harapan yang dipikulkan pada pundaknya tiap ia datang ke bumi.
Bahwa tak peduli kendati saat ini ia bukanlah manusia, ia masih harus hidup di bawah ekspetasi dewa.
Ah, pelipisnya berkedut. Lambungnya terasa perih dan Nara baru ingat ia belum mengonsumsi apapun selama delapan jam terakhir. Namun sadar bahwa kini bukan saatnya memikirkan seluruh kebutuhan manusiawi, si gadis akhirnya membuang napas lelah, menyeka wajah sekaligus menyingkirkan rasa kantuk dan lelah yang bertengger di sana kala menyahut, "Aku belum menemukan sedikitpun kejahatan Jeon Wonwooーmenurutmu ini sebuah kebetulan, huh?"
Tawanya terdengar kering bahkan ketika terbawa angin dan dimakan hening.
Membawa titel 'Tangan Kanan dewa' sama dengan menjinjing kesempurnaan dimanapun kau berada; di bumi atau alam kematian, dalam rupa manusia maupun ruh pekerja. Rasanya tak jauh beda antara hidup sebagai manusia atau mati sebagai pekerja dewa. Gadis itu juga tidak bisa sepenuhnya menuding salah pada Foniash yang mulai tampak jenuh, atau pada Hades yang kini mempertanyakan integritas sekaligus reliabilitas salah satu pekerja kesayangannya. Sudah lima bulan dan tak sedikitpun ada perkembangan.
Sudah lima bulan dan Nara masih tak dapat menetapkan waktu yang pas untuk kematian Jeon Wonwoo.
"Bukankah itu sudah menjadi kewajiban nona untuk mengorek fakta mengenai kejahatan target?"
Gadis itu refleks mendongak.
Tatapan kelabu Foniash. Bibirnya yang tergaris datar. Nada bicara yang penuh keraguan tapi juga keberanian di saat bersamaan kala bersuara, "Dewa tak akan mengirim anda dan saya ke bumi tanpa alasan ... bukan?"
Alasan, alasan, alasan.
Benar, Hades pasti punya alasan di balik titahnya.
Selama ini Nara hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri; ia memandang Wonwoo bagai vas keramik retak yang dapat pecah kapan saja, bukannya seorang manusia sadis tak berotak yang pernah membunuh seseorang. Tugasnya tak sederhana, Nara tahu itu: menyangkut hidup dan mati seseorang, melibatkan sebuah nyawa dan sesosok jiwa.
Tanpa bukti kejahatan yang kuat, ia jelas tak bisa menyerahkan nyawa seorang cuma-cuma.
"Sampaikan permintaan maafku pada dewa." Gadis itu mendesah, menelan saliva yang mengganjal di pangkal tenggorokan. Ia menggigit bibir ragu, sejenak menimbang kata yang tepat sebelum melanjutkan dengan hati-hati, "Tapi Foniash, apa kau yakin Hades tidak menitipkan pesan atau informasi tambahan berkenaan dengan target?"
Foniash terdiam cukup lamaーcukup untuk mengundang keheningan masuk dan mengisi tiap sudut ruangan. Perlahan iris Nara mulai menyipit, berusaha menggali kebenaran di balik tatapan sayu lawan bicara. Detik demi detik berlalu dan pertemuan subuh ini terasa bagai formalitas belaka yang mencekik tenggorokan. Foniash termasuk salah satu ruh yang lebih suka berbicara fakta secara gamblang walau pedih, jadi mendapati ruh itu kini hanya berdiri kaku dan bungkam membuat kuriositas si gadis meluap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
Fiksi PenggemarHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...