SEUMUR-UMUR menjejakkan kaki dalam universitas, Nara baru sadar bahwa perpustakaan kampus mendadak dapat berubah menyerupai pasar yang diatur mode senyap, dalam sekejap mampu meninggalkan kesan bahwa tempat ini merupakan ruangan belajar berlapis bilik kaca kalau-kalau plang besi dengan tulisan latin 'library' dicabut.Tidak heran, sih. Memasuki minggu-minggu semester baru berarti siap memberi tubuh diterjang bebas oleh kereta express bertitel tugas―rasanya seolah berlari di atas rel dengan taruhan nyawa dan angka. Barangkali inilah mengapa perpustakaan seketika menjadi tongkrongan favorit dibanding cafetaria. Desakan siswa mengantre menggunakan mesin cetak, beberapa kutu buku meminjam bertumpuk buku tebal yang hurufnya kecil bukan main, sementara sisanya―mahasiswa 'kupu-kupu' yang datang terpaksa demi referensi tugas―hanya terduduk pasrah seraya menatap lembaran kertas yang berserakan di meja.
Tidak pernah menyenangkan bila harus membuang berjam-jam demi menggarap tumpukan soal.
Nara sendiri harus menelan konsekuensi sebagai mendaftar mahasiswa jurusan matematika―hasil berdiskusi dengan Hades sebelum datang ke bumi, tentu saja. "Agar lebih mudah dekat dengan Wonwoo tanpa harus terlihat mencolok," kata dewa.
Namun harus diakui, mengerjakan tugas di kala perpustakaan ramai sama sekali tidak membantu. Kendati atmosfer sunyi, eksistensi puluhan insan dalam satu ruangan yang sama tetap berhasil membuat sesak. Oh, tidak. Bukan maksudnya mengatakan perpustakaan terlalu kecil untuk menampung puluhan mahasiswa. Universitas ini bukan universitas sembarangan, kau tahu? Hal yang mengherankan, sebab seharusnya bangunan semegah ini dilengkapi CCTV aktif di seluruh penjuru ruangan.
Ah. Itu jadi mengingatkannya pada kasus kemarin.
Baru pemikiran tersebut terlintas dalam benak, ia menoleh dan tanpa sengaja bertemu dengan sepasang iris tajam yang masuk dalam mimpinya semalam. Entah sejak kapan pemuda itu menempati bangku ujung dekat dengan lemari fiksi―bangku kayu tua yang kakinya timpang sebelah, tak heran tak banyak orang yang mau duduk di sana, kecuali dalam keadaan darurat yang tak memungkinkan mencari bangku lain. Anehnya, mahasiswa-mahasiswa tersebut bahkan langsung membereskan barang dan pergi tanpa suara kala Wonwoo datang.
Sebegitu menakutkannyakah pemuda itu?
Tanpa ragu sedikitpun, Nara lantas membalas tatapan Wonwoo, mengernyit samar sembari mengangkat dagu seolah sedang bertanya, "Apa?"
Namun pemuda itu tidak bereaksi apapun. Tidak berkomentar atau tersenyum, tidak pula memberi salam atau lambaian tangan layaknya kebanyakan orang ketika bertemu. Lagi-lagi Nara harus mengingatkan diri sendiri, ini Jeon Wonwoo yang ditatap―si eksentrik aneh dengan iris sabit, surai selegam malam, dan lidah mirip belati kendati jarang digunakan. Pemuda itu kini hanya bergeming di bangkunya, menumpu dagu dengan satu tangan sementara irisnya tak berhenti menatap Nara. Dingin, beku, tak acuh.
Sama sekali tak menampilkan kesan bersahabat sedikitpun.
Punya beban hidup apa, sih?
Tentu diperhatikan demikian selama bermenit-menit sukses menghadirkan rasa risi yang merayapi hati. Nara berdecak pelan, memutar bola mata dan berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya sendiri. Persetan Wonwoo mau menatap sampai kedua pupilnya meloncat keluar, gadis itu sama sekali tak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
Hayran KurguHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...