KALAU saja di universitas diadakan pertandingan interogasi dan penyelidikan dengan suara pekak yang mampu membuat orang berkali-kali meredam amarah, Nara yakin Lee Seokmin akan menyabet medali emas sekaligus penghargaan ekslusif untuk itu. Nyaris setengah jam ia duduk di undakan kampus, tersenyum enggan seraya menyesap teh kemasannya lambat, sementara sang lawan bicara tak memberi jeda sedetik pun kala berujar, "Jadi, apa yang terjadi di antara kalian berdua semalam? Ayolah, pasti ada 'sesuatu', bukan? Tidak apa-apa, kau bisa menceritakan padaku. Mungkin dimuali dari apa yang kau masak, apa saja yang kalian bicarakan. Well, aku tahu itu privasi tapi―"
―tapi kau tak berhenti bertanya. Ya, di situlah letak kesalahannya.
Serius, saat itu Nara sudah mencengkram erat bungkus teh kemasannya sampai berkerut, tergoda untuk menukas, "Wo, santai bung. Rasa ingin tahu yang berlebihan dapat membawamu pada jurang curam, kau tahu?"―tetapi masih punya pengendalian diri yang baik untuk menggeleng kecil dan menjawab, "Tidak ada. Aku hanya membuatkannya makan siang lalu pulang."
Itu tidak sepenuhnya bohong, oke? Setelah percakapan canggung yang berhasil menyudutkan Wonwoo ke ujung pantri, Nara memang sempat membuatkannya seporsi omelet sayur, tetap menyajikan masakan itu di meja makan tak peduli ketika Wonwoo menatap seolah makanan tersebut adalah bahan olahan mentah yang tak layak dimakan―walau akhirnya disantap juga.
"Sudah kuduga." Senyum Seokmin melebar. Pemuda itu menumpu dua siku di atas undakan tangga, tatapannya menghangat kala berujar, "Terima kasih telah bersedia datang kemarin. Kau tahu, bukan hal biasa Wonwoo bisa dekat dengan orang lain."
Nara mengerjap.
"Aku pengecualian, tentu saja." Seolah dapat menangkap pertanyaan pada netra si gadis, Seokmin mengangkat kedua tangannya dengan wajah polos yang dibuat-buat. "Aku sudah mengenal pemuda itu sejak SMP―well, bersama dengan Jihoon dan Chani." Kemudian pandangannya beralih menatap cakrawala, memperhatikan pergerakan awan yang lambat seraya menghirup napas dalam-dalam. "Walau tampak sarkas dan menyebalkan, Wonwoo itu sebenarnya pemuda yang hangat."
Nara hanya tersenyum tipis, berusaha untuk tidak menyelipkan ejekan atau sedikit nada sarkasme saat menimpali, "Kau benar."
"Sering-seringlah berkunjung ke apartemen Wonwoo," kata Seokmin selanjutnya, "ajak aku atau Chani kalau kau tidak ingin datang sendiri. Awalnya saja tampak galak, tapi sebenarnya Wonwoo juga senang diperhatikan."
Nara dapat merasa semilir angin musim semi menyentuh wajah, seiring gadis itu menoleh dan menatap lawan bicara dengan sudut bibir merangkak lambat. Padahal cuaca sedang cerah bukan kepalang, padahal pantulan cahaya matahari tetap menerjang pori-pori kulitnya yang terekpos di luar kaos dan jeans. Tapi jauh di sana, si gadis sama sekali tak merasa kehangatan yang sama menelusup hati kala mendengar Seokmin berkata, "Kau lihat ia tinggal sendiri dalam apartemen sebesar itu. Siapa yang tidak kesepian?"
Kesepian atau tidak, seluruh manusia pada dasarnya suka diperhatikan.
Ah, kalimat tersebut mendadak mengingatkannya pada satu hal. Nara menggigit bibir sejenak, menimbang-nimbang kata yang tepat sebelum membuka suara, "Apa Wonwoo masih absen kelas? Maksudku, kau tahu, kemarin kita sempat mengunjunginya dan ia sama sekali tidak sakit atau sibuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
FanfictionHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...