SELURUH target Hades pernah mengatakan hal serupa sebelum ajal menjemput.
Faktanya, sering sekaliーbahkan agaknya selalu terjadi pada tiap misi―seorang pendosa membantah dirinya ialah pendosa. Sebab sama seperti pencuri yang terus mengelak bila dikatai pencuri, sama seperti tumpukan rongsok yang selalu menganggap diri bak berlian saat dikerubungi serangga, pada dasarnya dalam diri manusia pun telah tertanam sifat arogan. Egois dan gengsi lahir bak natur yang tumbuh, merekah, dan beranak dalam pribadi setiap insan. Lambat laun nurani menjadi sesuatu yang tak penting; manusia pada akhirnya lebih suka melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, demi kepuasan pribadi.
Bermenit-menit di sana, Kim Nara hanya dapat duduk tafakur, kedua netranya menatap lantai pualam sementara benaknya terus berputar pada seluruh kenangan bersama Jeon Wonwoo. Sejak awal membaca data target, Nara sudah menemukan sesuatu yang janggal menggantung pada kehidupan pemuda itu. Bayangkan, bagaimana bisa seorang pembunuh dikelilingi tiga sahabat baik, yang berbeda dari Wonwoo, ketiga orang ini tidak memiliki catatan kriminal apapun.
Persahabatan yang bukan diikat oleh rantai ketakutan melainkan kesetiaan.
Bagaimana Seokmin, Jihoon, dan Chani―dengan caranya sendiri―mendorong satu sama lain sepenuh hati, bagaimana ketiganya tetap berdiri di belakang Wonwoo layaknya pilar yang menopang bangunan rapuh; berusaha mendukung, membantu, dan sedia menjadi benteng kala pemuda itu dilanda topan. Seolah-olah angin dapat meruntuhkannya dengan satu embusan.
Bahkan, untuk satu fakta yang membuat Nara tak henti memutar otak sejak tadi, ialah bagaimana salah satu dari mereka menyangkal kejahatan Wonwoo dengan sebuah pernyataan yang sama:
Tuan Jeon telah membunuh ibu kandung Wonwoo.
Ayah membunuh ibu kandungku.
Kalimat Chani, kalimat Wonwoo, juga seluruh kepedulian Seokmin dan Jihoon ... semua itu bertentangan dengan data Hades.
Hari itu, Foniash berkata untuk percaya pada data dewa. Chani, Wonwoo, atau siapapun di dunia ini bisa saja mengatakan kebohongan. Namun, untuk sebuah alasan yang Nara masih tak mengerti apa, gadis itu memiliki setitik keraguan, setitik tanda tanya atas kebenaran yang ada.
Bagaimana kalau sesuatu yang salah terjadi?
Bagaimana bila Foniash salah? Bila Wonwoo tidak pernah membunuh siapa-siapa?
Tidak, tidak. Nara menampar pipinya sendiri, napasnya tersengal saat menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Gadis itu lantas menenggak kopinya yang setengah panas, merasakan bagaimana sensasi kelat membakar rongga lidah. Bunyi detak jam mengisi telinga di tengah-tengah sunyi kamar. Televisi di hadapannya menyala, tapi sengaja dibisukan. Gambar dan warna yang bergerak-gerak di layar kian membuat kepala Nara pening.
Sekarang pukul dua siang, belasan jam telah terlewat sejak percakapannya dengan Wonwoo. Kaos dan kardigan putih masih melekat sempurna pada tubuhnya, lengket dan becek oleh keringat. Selama itu ia belum berkemas, belum menyentuh sehelai baju pun, hanya duduk di lantai ruang tamu, diam, dan merenung.
Pelipisnya semakin berkedut.
Di tengah keheningan tersebut, Nara dapat mendengar dua suara kontradiksi saling sahut-menyahut dalam benak. Seolah dirinya telah terbelah menjadi dua bagian, seolah dalam satu pot yang sama tertanam bibit kesetiaan sekaligus pemberontak. Di satu sisi, gadis itu setuju dan mendukung pernyataan Foniash beberapa hari silam. Sebab manusia merupakan makhluk paling manipulatif dalam semesta. Singa tidak akan berpura-pura menjadi domba dan menyusup di antara kawanan untuk memangsa seekor domba, tapi manusia rela memasang wajah berbeda demi menikam musuh dari belakang. Chani, Wonwoo, dan yang lain bisa jadi hanya memasang masker wajah agar tampak baik dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
FanfictionHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...