23; The Justice

283 57 5
                                    

TUJUH hari penuh Nara tidak tampak di selasar universitas. Lee Seokmin yakin ia tidak salah hitung―tujuh hari berlalu, dan gadis itu tidak memberi kabar apapun. Ponsel non aktif, tumpukan pesan dibiarkan menggantung tak dibaca, pula puluhan panggilan berujung pada voice mail singkat. Seolah gadis itu telah dilahap oleh inti bumi dan lenyap mendadak. Skenario paling buruk, gadis itu diculik sekelompok preman jahat, dibunuh dengan gorok sepanjang tiga puluh senti sebelum tubuh mungilnya dibuang ke lembah curam―ia sering mendengar cerita kriminal sebrutal itu lewat acara TV kesukaannya. Dan kini cerita-cerita seram tersebut bagai racun yang menggerogoti isi kepala.

Itu tidak membantu sama sekali. Namun demi dewa, ia sudah mencari ke semua tempat―kalau dipikir-pikir, sudah mirip seorang ayah yang mengkhawatirkan kondisi putri tunggalnya. Well, bagian terakhir adalah fakta. Seokmin akui, ia benar-benar khawatir sekarang.

Tanpa diduga-duga denting ponsel mengejutkan hatinya, Seokmin refleks terperanjat. Sandaran kursi kantin reot yang ditempatinya bahkan nyaris patah, tetapi tanpa merasa bersalah, pemuda itu segera meraih ponselnya di atas meja. Jantungnya berdegup kencang. Bisa jadi ini pesan dari Nara. Akhirnya. Akhirnya, gadis itu memberinya kabar.

Namun seluruh harapan tersebut pupus saat layar ponsel menyala dan menampilkan kolom notifikasi.

"Online shop sialan! Tidak tahu orang sedang panik begini, apa?!"

Seokmin lantas mendengkus kasar, membenamkan kepala di atas meja. Pikirannya berkecamuk. Tangannya mengepal dengan hati panas luar biasa. Jelas ia tahu apa yang terjadi selama tujuh hari terakhir. Seluruh peristiwa bak hantaman angin yang menampar wajah. Terlalu cepat, terlalu mengejutkan. Masalah ibu tiri Wonwoo yang belum tuntas, lalu kematian Choi Seungcheol.

Kim Nara pun menghilang tanpa jejak. Wonwoo kalang kabut. Harus dicurigai polisi sebagai pembunuh, beberapa kali pula Seokmin menemani sahabatnya untuk keluar-masuk kantor polisi, dimintai keterangan lebih lanjut, dikucilkan seisi kampus.

Salah satunya, Nara―kendati tanpa alasan yang jelas.

Jangan tanya bagaimana keruh pikiran dan perasaan Seokmin tujuh hari terakhir. Kalau dipikir-pikir semua ini tidak masuk akal. Pemuda itu sendiri masih ingat cerita Wonwoo yang terakhir, tentang bagaimana Seungcheol mendatangi apartemennya untuk meminta pertanggung jawaban atas kasus Airin. Padahal Jungwoo sudah tidak ada, padahal apa yang terjadi belasan tahun silam ialah kesalahan.

Namun, tidak pernah ada yang percaya, bukan?

Kemudian tanpa angin dan hujan, mendadak Wonwoo meneleponnya. Seokmin masih ingatーseluruh detil peristiwa tersebut masih terekam jernih dalam kepala. Tengah malam pukul dua. Seokmin yang asyik bermain game online terpaksa mendadak menyemburkan soju-nya pada layar komputer saat mendengar Wonwoo ditahan sebagai tersangka.

"Apa kau benar-benar membunuh Seungcheol?" tanya Seokmin malam itu, setelah Wonwoo menyelesaikan sesi interogasinya.

Seperti yang diduga, sahabatnya itu tak langsung menjawab. Sepasang netra rusanya menatap redup. Tidak tersinggung, tidak pula mengangguk. Dari bola mata gelapmnya, Seokmin melihat ada secercah ketakutan, sepercik penyesalan, dan sisanya ... hampa.

Benar-benar hampa.

Dan seolah pertanyaannya sama seperti pertanyaan basa-basi lain, pemuda itu hanya menjawab datar, "Kau tahu jawabannya."

Ia tahu. Wonwoo berkata, Seokmin tahu.

Tetapi, apa?

Hidup persis bak kepingan teka-teki potongan gambar yang terlempar luas. Kebenaran menjadi sesuatu yang buram, kejujuran dan keadilan kian lama hanya sebatas formalitas. Satu hal yang pemuda itu tak paham, kalau memang bukan Wonwoo pelakunya, mengapa ia hanya diam? Mengapa ia tidak repor-repot membela diri saat interogasi? Mengapa ia hanya duduk dalam bungkam, menatap dalam hampa layaknya orang tak berdaya?

Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang