SEJAK awal aku memerhatikan manusia itu, aku sadar bahwa ia memiliki segalanya yang kumau: ketulusan dan kehancuran, ketakutan tapi juga keberanian, kepahitan namun di sisi lain ada kesetiaan yang mengakar kuat. Aku memelajarinya selama beberapa waktu; tentang bagaimana manusia itu mati, apa yang membuatnya begitu sedih dan rapuh, apa yang ia cari di dunia fana itu.
Dan, aku menemukan jawabannya―aku selalu menemukan jawabannya.
Manusia itu haus akan cinta. Ia mati dalam kecelakaan mobil, dengan emosi tak stabil dan rasa sakit hati akibat dikhianati orang yang paling dicintai. Saat itu juga aku tahu, aku menginginkannya menjadi pekerja-ku.
Tidak, aku menginginkannya menjadi bagian-ku.
Maka, kunamai dia Eleft. Aku menyukainya beribu kali lipat dari ruh lain. Ia tidak banyak bicara, tidak banyak bertanya apalagi menentang. Seluruh ucapanku didengar dan dipikirkannya lamat-lamat, diterapkan dalam seluruh misinya mengeksekusi manusia. Eleft, nama yang indah. Nama yang kelak akan menjadi salah satu bagian penting dalam rencana besar dewa.
Sesuai dugaanku, Eleft menghasilkan jiwa lebih banyak dari pekerja lainnya. Ia mendekati tiap manusia yang lemah itu bagai seekor singa menargetkan kawanan domba. Tekniknya licik, caranya bermain halus dan licin. Tak pernah kutemukan kejanggalan apalagi celah dalam setiap misinya. Ia selalu bisa pulang ke dunia bawah dengan selamat.
"Manusia-manusia diciptakan dari abu dan debu, sudah seharusnya mati dan melayani para dewa. Bukankah begitu, Eleft?"
Ia mengangguk.
Aku terbahak puas. Hari itu persentase kematian manusia meningkat pesat. Bukan kematian sembarangan, ini kematian yang telah direncanakan. Kematian yang nantinya akan menghadirkan ruh-ruh baru untuk dicap sebagai 'budak dewa'.
Satu langkah menuju kekuasaan.
"Apabila saatnya telah tiba, maka kekuasaanku dapat dibangkitkan. Maka kita tak perlu lagi tinggal dalam tempat rongsok ini, berdekatan dengan neraka dan lava panas."
Saat itu, keningnya mulai mengerut. Kepalanya dimiringkan, matanya menyipit―ciri-ciri saat ia memiliki pertanyaan. Namun aku malah menyeringai lebar, seolah menantangnya untuk melempar seluruh keraguannya. Biasanya aku cukup sensitf dan tegas, tapi sewaktu itu wuforiaku begitu membuncah. Aku terlena dengan banyaknya ruh budak, hingga aku tidak masalah ketika ditanya-tanya oleh pekerja.
Lagipula ini Eleft, apa yang perlu kusembunyikan dari pekerja kesayanganku ini?
"Kenapa tuan ingin sekali pindah?"
Hanya itu. Satu deret pertanyaan yang segera membuat keningku mengernyit. Aku tersinggung, tetapi untuk alasan berbeda. Dari sekian banyak pertanyaan dan keambiguan dalam kalimatku tadi, hanya itu yang ingin Eleft ketahui?
"Karena di sini tempat buangan! Dewa mana yang ingin tidur di dalam tanah dan mendengar langkah kaki manusia menginjak-injaknya dari atas sana?"
Eleft terdiam, tampak sedang berpikir.
Setelahnya, ia tak lagi melempar pertanyaan. Aku pun sudah dibuai oleh kesibukan mengurus budak-budak baru. Generasi muda zaman itu semakin bodoh dan ceroboh. Bukan hanya fisik mereka yang buruk, sikap mereka terus membuatku ingin melempar tubuh mereka ke liang kubur untuk kedua kali. Atau ke neraka sekalian! Namun, aku harus sabar. Bila terlalu banyak jiwa ke neraka, maka pasukanku akan berkurang. Persetan dengan nyawa manusia, makhluk-makhluk kerdil itu akan mati suatu hari nanti, jadi kenapa tidak segera mempercepat prosesnya saja?
Kriminal atau tidak, toh mereka sama-sama manusia.
Kemudian suatu hari, aku akan keluar dari tempat menyedihkan ini. Aku akan mendirikan takhta kerajaan baru, menundukkan dewa-dewa sialan yang merendahkanku dulu. Bukan sebagai Hades, Dewa Dunia Bawah, melainkan sebagai Hades, Dewa Kematian dengan pasukah ruhku yang baru.
Sesederhana itu jawabanku. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
FanficHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...