11; Mischievous and Vile Soul

475 91 5
                                    

BARANGKALI tiga hal utama yang menjadi pilar utama memorinya semalam adalah lelehan kacang merah, wafel setengah panas menari-nari di atas lidah sementara alunan Moonlight Sonata telah memasuki gerakan final

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BARANGKALI tiga hal utama yang menjadi pilar utama memorinya semalam adalah lelehan kacang merah, wafel setengah panas menari-nari di atas lidah sementara alunan Moonlight Sonata telah memasuki gerakan final. Kemudian, napasnya tersekat. Pikirannya buntu, pandangannya mendadak kabur. Untuk sepersekian sekon di sana, Kim Nara nyaris merasa jantungnya berhenti berdetak kala tiba-tiba, Wonwoo menciumnya.

Seluruh rasa manis yang menggumpal dalam mulut lantas sirna. Seluruh rasa lapar yang sedari tadi menggetarkan lambung perlahan berubah menjadi lilitan gugup. Butuh beberapa detik untuk si gadis menguasai diri sebelum membalas ciuman tersebut.

Ini bukan yang pertama, tentu saja. Juga bukan hal yang janggal, sebenarnyaーwalau hal tersebut jelas tak dapat dijadikan pembenaran untuk serangan mesum mendadak. Barangkali libido pemuda itu meningkat drastis hanya sebab melihat lelehan kacang merah di bibir wanita. Namun Nara juga manusia normal; dengan hati, pikiran, perasaan, dan nafsu yang sama. Jadi jelas kala ciuman diperdalam dan jemari Wonwoo menyentuh permukaan punggungnya, gadis itu tak dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal serupa sementara kini tangannya menyisir surai sang pemuda.

Malam tersebut menjadi ukiran memori nyata di atas kanvas yang masih terpatri penuh dalam kepala. Detik terasa lambat. Hening memeluk erat. Menyentuh bibir sang pemuda, mengecap samar-samar rasa ginseng yang tertinggal di lidah, Nara merasa bara api meletup liar dalam dada. Rasa tersebut nyata, bertengger di sana, nyaris merenggut separuh kewarasannya.

Hingga di detik tak terdugaーtepat saat musik berhenti mengalun dan seluruh dinding kesadarannya dihantam mendadak, ciuman terputus. Seluruh imajinya pun luruh. Wonwoo menarik diri dari sofa, lantas menegakkan tubuh dan berusaha mengatur ritme napas yang terengah.

"Tidak buruk." Nara ingat lidahnya berucap di sela-sela tarikan napas. "Kau juga sering melakukan itu, huh? Mencium gadis lain tanpa sebab?"

Sebenarnya kalimat tersebut tidak mengandung unsur sarkas. Namun dalam lantunan memori semalam, ia ingat selanjutnya Wonwoo tidak menjawab dengan godaan seperti biasa. Alih-alih, pemuda itu malah memalingkan wajah dan berkata, "Aku harus pergi." Dingin, datar, sorot matanya menggelap. Ekspresinya berubah sekeruh telaga. "Simpan saja titipan kuliah dari Seokmin. Kau tidak harus menyerahkannya padaku hari ini."

Dan sebelum dapat dicegah, pemuda itu sudah keburu melangkah keluar apartemen.

Tepat meninggalkannya termangu.

Apa yang salah?

Bahkan setelah bayangan kejadian itu direka berulang-ulang pun, Nara masih tak dapat menemukan penyebab konkrit yang membuat sikap Wonwoo berubah. Malam tersebut seharusnya dapat menjadi satu peristiwa signifikan yang membangun intimasi dengan korban; ciuman, ledakan asmara, menghabiskan malam berdua bersama seorang gadis di tengah lelehan panas cinta.

Bukankah memang itu yang Jeon Wonwoo inginkan?

Pelipisnya berkedut. Nara mendesah, menyesap lamat secangkir kopi hangat di genggaman. Isi kepalanya sekonyong-konyong mampu bergaung lebih keras mengalahkan alunan The Beautiful Blue Danube dalam ruangan.

Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang