PERJALANAN dari Seoul ke Busan memakan waktu nyaris seratus delapan puluh menit, belum termasuk singgah ke restoran bulgogi―yang menurut preferensi Nara merupakan salah satu rumah makan daging terlezat yang pernah ia datangi, sebelum keduanya sampai pada salah satu vila pribadi Wonwoo. "Ini adalah satu-satunya peninggalan ibu untukku, selain rumah lama yang ditempati ibu tiriku," ujar Wonwoo menjelaskan. Vila itu sendiri, menurut pandangan Nara, tidak tampak seperti vila berusia lebih dari setengah abad yang telah ditinggal tak berpenghuni selama satu dekade penuh. Bangunannya masih kokoh, dua pilar gemuk di depan rumah masih bewarna seputih tulang, cat temboknya pun menempel sempurna. Saat menapaki langkah ke dalam, perabotannya pun tidak berdebu layaknya yang Nara bayangkan selama perjalanan tadi.
"Terkadang Seokmin dan aku datang kemari," ujar Wonwoo seolah bisa membaca isi kepala si gadis, melepas jam tangan sekaligus jas hitamnya sebelum melempar dua benda itu di atas sofa. "Ada juga pekerja sewaan yang datang setiap minggu untuk memastikan keadaan vila tetap bersih."
Pemuda itu mulai melepas kancing kemejanya satu per satu. Nara yang tadinya sibuk melihat dekorasi rumah, mendadak teralih menatap geli kekasihnya. "Kau tahu ada kamar mandi di sini."
Tapi yang ditatap hanya mengedikkan bahu tak acuh. "Terlalu jauh. Lagipula kau sudah melihat, untuk apa merasa malu?"
Kalimat terakhir berhasil membuat pipi Nara terbakar. Ia langsung teringat pada memori panas berminggu-minggu silam. Sialan, menggoda seperti ini jelas tidak adil. Wonwoo pasti sudah melihat rona merah berpendar di sana, sebab setelahnya pemuda itu terkikik puas. Ia menyabet sehelai kaos putih dari salah satu rak bawah televisi dan langsung memakainya santai. Ah, poin kedua yang mengejutkan, Wonwoo ternyata sudah mempersiapkan trip ini jauh dari yang Nara pikirkan.
Bayangkan, saat di perjalanan tadu Nara ribut mendesak untuk singgah ke mal terdekat dan membeli baju atau perlengkapan mandi, dengan tenang Wonwoo berujar, "Kau tak perlu khawatir. Aku telah menyediakan semua di sana."
Dan voila, 'semua' yang dimaksud ialah membawa ransel penuh dengan sabun, shampoo, dan beberapa helai baju.
Nara memutar bola mata, melirik isi tas Wonwoo. "Jadi aku akan meminjam bajumu? Dan menggunakan perlengkapan mandimu?"
"Boleh―kalau kau mau," sahut Wonwoo, menyeringai. "Tapi kalau kau ingin tampil lebih feminin, ada beberapa blouse dan dress di lemari kamar. Kau boleh memakai itu."
Mata Nara menyipit. "Baju perempuan di vila-mu?"
"Baju peninggalan ibuku," ralat Wonwoo, kini tersenyum geli melihat pandangan menyipit lawan bicara. Mencondongkan tubuh untuk mendaratkan satu kecupan singkat pada kening si gadis, ia berucap, "Kamarku di dekat loteng kalau kau membutuhkan. Aku akan menjemputmu nanti, sekarang istirahat dan ganti baju sebelum kubawa kau jalan-jalan nanti."
Jalan-jalan. Nara mengerjap. Di Busan, untuk pertama kalinya.
Jeon Wonwoo itu memang penuh kejutan.
Kamarnya terletak di dekat balkon, menghadap sisi utara yang bertolak belakang dengan kamar Wonwoo. Sesampainya di sana, Nara menghabiskan dua menit penuh untuk meniti dekorasi kamar. Ruangan dengan satu tempat tidur dan lemari kayu tersebut memiliki aroma manis yang khas, temboknya bewarna putih tulang dengan satu jendela bertirai abu-abu. Saat disingkap, jendela tersebut langsung mengarah pada pemandangan pantai dan laut. Nara membuka lemari tua. Seperti kata Wonwoo, ada beberapa helai baju perempuan milik Nyonya Jeon dulu.
Satu hal yang menarik perhatiannya, sehelai dress putih panjang dengan detail ukiran pada bagian lengan. Tampak sederhana, namun cantik dan elegan di satu waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atonal Euphonious [Jeon Wonwoo]
FanfictionHades ingin pemuda itu mati. Maka ia mengutus Eleft―sang perancang kematian―untuk datang ke bumi, merekam semua data kriminal Wonwoo, lalu menetapkan hari serta rencana yang pas hingga pemuda itu tewas. Namun salah besar bila Eleft pikir misi ini ak...