Entah desiran hebat apalagi ini,
Hari istimewaku akan segera tiba.
Tetapi satu nama yang semestinya tak ada itu terus berputar memenuhi seisi pikiranku.
Aina anti, Sha?
(Elzain Azhar)-Penantian-
--¤♡¤--
Malam yang sunyi, Sebuah sajadah tergelar, Zain terduduk penuh khusyu' dihadapan Rabbnya. kalimat-kalimat harapan dan doa terbisik dari bibir Zain. Bahkan matanya pun tak segan untuk meteskan air mata.
Akhir-akhir ini ia sadar, gadis yang telah berjasa banyak di keluarganya benar-benar menghilang dari kehidupannya.
Hampa. Suara dan senyuman dari gadis itu telah hanyut entah kemana. Kalau boleh jujur, Zain tak ingin melepaskan gadis itu. Padahal dirinya sendiri masih kekeh untuk menjaga perasaannya dengan Farah.
Sabrina. Gadis yang hadir di kehidupannya itu telah pergi meninggalkan sejuta kenangan. Zhara yang masih tak rela akhir-akhir sering mengunci dirinya di dalam kamar.
Malam itu pukul dua dini hari, Zain masih nyaman berada di atas sajadahnya, kini pria itu tengah membuka mushaf untuk dibacanya setelah melaksanakan dua rakaat sunnahnya.
Lantunan ayat demi ayat Allah mengalun indah memenuhi ruang Zain. Cahaya yang redup dari lampu tidur memberi ketenangan yang luar biasa bagi Zain.
Setelah merasa cukup, Ustadz itu memutuskan untuk keluar dan memasuki kamar adik tercintanya.
Tanpa menunggu lama, Zain langsung membuka pintu kamar Zhara.
Kriet.
Zain membelalakkan matanya. Adiknya itu lupa untuk mengunci kamarnya.
Kedua kaki Zain melangkah masuk ke kamar, kedua matanya tak kunjung menemukan sosok adiknya itu.
"Zhara? Zhara!! Kamu dimana?" Teriak Zain sambil menoleh kesana kemari, dan akhirnya kepalanya berhenti, dan menjumpai adiknya itu tengah merenung di balkon.
Zain terus melangkah menghampiri adiknya itu. Zain menyentuh pundak adiknya pelan.
"Assalamualaikum."
Zhara terkejut, dan menjawab salam Kakaknya itu. "Eh, waalaikumsalam. Kakak?"
"Kamu ngapain disini sendirian, hm?" Tanya Zain mengelus pucuk kepala adiknya itu.
Zhara kembali menatap kosong ke arah depan, membuat Zain merasa diabaikan di tempat itu.
"Zhara," bisik Zain pelan. Gadis itu menoleh sejenak, dan hanya memberikan senyum getir.
Zain kemudian merengkuh adiknya itu dari samping, membawanya hanyut didalam pelukan hangatnya. Zain mengerti apa yang ada dipikiran gadis kecil di depannya ini.
Zhara hanya terdiam di posisinya. Kedua tanganya sama sekali tak membalas pelukan dari Zain.
"Zhara, tidak perlu kamu terus berlarut dalam meratapi kepergian Nafisha. Kalau dia benar-benar sayang denganmu, percaya sama Kakak. Dia tidak akan tega untuk meninggalkanmu,"
Zhara masih menatap kosong ke arah depan, sudut mata kiri gadis itu meluruhkan setetes cairan bening.
Tangannya pun melepaskan pelukan Zain.
"Kak, Zhara bosan dengar kalimat itu. Cukup jangan bicara lagi. Umma berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Tapi Kak Brina juga tak kunjung kembali!" Tegas Zhara dengan isak tangisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian
Spiritual[REVISI] On Going Salahkah jika seseorang mempunyai keinginan rasa cinta yang bisa berbalas? Tentu semua ingin cintanya tidak sepihak. Namun apakah mungkin Sabrina bisa mendapatkan balasan cinta dari seorang Ustadz? Sedang takdir buruk nan tidak m...