Sungguh, berharap selain berharap pada Allah besar kemungkinan pasti berujung pada rasa kecewa.
--¤♡¤--
-Penantian-
Harus dibawa ke mana rasa yang tertanam, yang tiap harinya kian bertambah tanpa tahu untuk berkurang. Harus dibawa ke mana jika rasa itu masih menetap nyaman di hati seseorang. Padahal sepatutnya rasa itu tak ada. Harusnya rasa itu tidak tumbuh untuk seseorang yang hatinya sudah terpaut hati lain. Seburuk itukah cinta bertepuk sebelah tangan?
Hati yang berusaha baik-baik saja, yang berusaha menahan api yang membara, hati yang remuk redam ketika dipaksa untuk berhenti mencintai. Demi apa? Demi kebahagiaan orang yang dicintai.
Karena sejatinya puncak tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Ikhlas menerima takdir apapun yang Tuhan kehendaki.Resiko mencintai seseorang memang ada. Resiko itu tidak dapat untuk dihindari, tidak dapat untuk dibantah. Apalagi mencintai dalam diam. Mencoba merebut hatinya lewat sepertiga malamnya. Tanpa ada yang tahu selain Rabb dan dirinya sendiri. Tapi sebuah keikhlasan adalah kewajiban dalam mencintai dalam diam. Ikhlas menerima jika ternyata namanya tidak bersanding dengan nama orang yang dicintai di lauhul mahfudz.
Hati yang remuk karena cinta itu kini harus hancur secara berkeping-keping lagi. Ketika mengetahui sosok penyemangat, sosok lelaki pertama yang ia cintai sedang berjuang untuk kembali seperti sedia kala.
Seorang gadis mana yang tidak hancur melihat cinta pertamanya yakni Ayahandanya harus berjuang melawan rasa sakitnya. Sedang, sang Ayah adalah penyemangat untuk putrinya.
Kini Sabrina merasa begitu tidak berguna. Ketika hatinya hancur saja hanya karena cinta, ia menjadikan pulang untuk senjata utamanya. Bertemu dengan Ayahnya untuk menjadi pelipur lara. Tetapi sayang, agaknya semesta tak berpihak padanya. Membiarkan hatinya semakin hancur sehancurnya.
Tetapi di sisi lain, Sabrina harus tetap bersyukur, bersyukur di segala macam keadaan. Ia masih beruntung dapat melihat Ibundanya yang masih sehat, walau hatinya sedang tidak baik-baik saja mengkhawatirkan suaminya.
Sabrina terus menelisik raut damai Ayahnya. Lihatlah, bulir bening berhasil menitik dari sudut mata cantiknya.
"Ayah, nyaman banget ya, tidurnya?" Tanyanya sedikit sesenggukan masih tak kuasa melihat Ayahnya yang masih terbaring lemah dan kedua kelopak mata sayunya yang masih setia tertutup.
Derit pintu tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok Bunda Sarah di sana. Namun tak urung membuat Sabrina mengalihkan pandangannya.
Bunda Sarah masuk, kemudian menatap iba putrinya, juga suaminya itu. Ia tahu, berita akan pernikahan Zain sudah didengarnya dari Hasbi beberapa hari yang lalu.
Ya, Hasbi terus memberi kabar dari sana. Dan hal yang membuat Bunda Sarah terheran, kenapa tiba-tiba putrinya itu pulang ke Surabaya? Padahal kini Sabrina tengah disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai pembisnis dengan sahabatnya, Meera. Hal itu yang membuat Bunda Sarah beberapa hari yang lalu menanyakan soal itu kepada Putranya, Hasbi.
Usut punya usut, ternyata Sabrina sudah lumayan hampir lama ingin pulang, ia ingin pulang sejak ia mengetahui dengan mata kepalanya sendiri dan mendengar dengan kedua telinganya sendiri jika orang yang dicintainya memilih untuk hidup bersama wanita lain dan bukan ... dirinya!
Iya, Bunda Sarah tidak bodoh, ia tahu betapa sakitnya menjadi Putrinya itu. Ketika harus mencintai sedang cintanya hanya sepihak.
Bunda Sarah berjalan menuju Putrinya yang tengah tersedu di tangan lemah putih pucat suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian
Spiritual[REVISI] On Going Salahkah jika seseorang mempunyai keinginan rasa cinta yang bisa berbalas? Tentu semua ingin cintanya tidak sepihak. Namun apakah mungkin Sabrina bisa mendapatkan balasan cinta dari seorang Ustadz? Sedang takdir buruk nan tidak m...