🥀.30

28 4 2
                                    

Laa Yukallifullahu nafsan illa wus'aha ....
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ....
(Qs. Albaqarah ; 286)

--¤♡¤--

Sudah hampir seminggu, wanita yang masih terus ia harapkan untuk bisa kembali itu meninggalkannya. Tidak! Tidak hanya dirinya yang kehilangan wanita itu. Tapi adik perempuannya pun jangan tanyakan lagi.

Zain masih terus disibukkan oleh beberapa acara pengajian untuk pergi ke undangannya. Belum lagi memikirkan taman pendidikan Al-quran di Masjid yang sempat terbengkalai dari satu minggu yang lalu. Lebih tepatnya memang tujuan utamanya diliburkan karena acara nikah itu. Namun ternyata takdir tidak mengizinkan Farah dan Zain berjodoh.

Mungkin nanti TPQ yang diberi nama Arrahim akan kembali dimasukkan nanti sore. Ya, sesuai jadwal yang awal Zain buat dulu.

Kini kedekatan keluarga Zain dan Farah sedikit merenggang. Bukan apa-apa, mungkin dari pihak Farah merasa sedikit kecewa dengan Zain. Dan si keluarga Zain pun begitu, mereka malu terhadap keluarga Farah. Alhasil sampai detik ini Farah tidak pernah bertemu lagi dengan Zain.

Di TPQ Arrahim, terdapat tiga guru yang mengasuh. Zain dan Farah adalah pengasuh utama. Sedang Sabrina hanya sebagai pengiringnya. Ya, dulu Sabrina sempat mengajak Farah untuk ikut serta menjadi Ustadzah. Karena ia merasa tak enak hati dengan sahabat Zain itu.
Masak iya Zain hanya memberikan amanah terhadap dirinya saja? Tentu tidak adil. Hehehe ....

Zain bingung harus bagaimana, apakah dia yang mengurus TPQnya sendiri? Nanti murid-murid perempuan siapa yang mengajar?

Akibat memikirkan tentang TPQ, Zain teringat lagi dengan Sabrina. Huh, entahlah apa yang diinginkan Zain itu, bisa disebut juga mungkin dirinya gagal Move on. Memang Sabrina siapanya? Gagal move on segala?

"KAK!!" Teriak Zhara tiba-tiba yang berada di sampingnya. Sangat dekat, membuat lamunan Zain seketika buyar dan terkejut bukan main.

"Astaghfirullah Zhara! Apa?! Gak usah teriak juga adikku sayang ...." jawab Zain berusaha menahan amarahnya dengan geram.

Zhara hanya menyengir kuda menampakkan gigi putihnya.
"Hehehe ... maaf Kak ... keras banget ya? Hahaha syukurin! Lagian dari tadi Zhara teriak dari sana Kak Zain gak denger, Kakak gak budek, kan?" Tanya Zhara seperti mengejek itu membuat Zain semakin geram.

"Ya Allah. Apa kamu kata? Budek?" Tanya Zain berusaha sabar.

"Eh eh ... Zhara kan cuma nanya kenapa jadi ngerasa budek si? Berarti emang budek?" Goda Zhara lagi.

Zain menghembuskan nafas berat. Mengelus dadanya supaya amarahnya tidak mencuat.
"Zhara bercandanya bikin Kakak berhasil mau emosi ya?"

Zhara tertawa lepas sambil mendudukkan dirinya di atas sofa ruang tamu tepat di hadapan Zain.

"Kak, jadi kapan mau ke Surabaya? Zhara mau ikut tapi sekolah ...."

"Sebenernya mau secepetnya ... tapi masih banyak kesibukan."

Beberapa hari yang lalu, mereka sudah menemukan jawaban di mana letak alamat Sabrina. Zain yang mencoba untuk mencarinya setelah ia bertanya kepada Zhara, namun adiknya itu menjawab dengan ragu. Akhirnya, Zain dulu mengingat ia berjanji dengan adiknya untuk pergi menemui Kakaknya Hasbi yang praktik di Rumah Sakit Jakarta.

Sebenarnya, Zain bisa dikatakan sedikit takut berhadapan dengan Kakaknya Sabrina yang menurutnya sangat tegas itu.
Bahkan, Zain terkadang masih merasa sangat sesak, mengingat  sosok Kakak dari Sabrina seolah melarang pujaan hatinya itu untuk menemuinya lagi. Entah mempunyai dendam apa Hasbi, sehingga begitu membenci Zain.

PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang