🥀.22

27 8 0
                                    

Aku masih ada untukmu, dan akan selalu ada. Meski nama yang kau langitkan di doa-doamu bukanlah diriku, melainkan orang lain.
(ArknMalik)

-Penantian-

--¤♡¤--

Sebuah Rumah indah yang telah berdiri kokoh dengan cat tembok berwarna cream, kini telah menjadi rumah milik Hasbi setelah membuka apotek dari hasil keringatnya menjadi dokter, serta bisnis dari Sabrina, mampu untuk membeli rumah yang lumayan asri itu meski tidak begitu luas, tapi terkesan apik.

Di samping rumah terdapat taman dan pondok kecil, beberapa tanaman hias berada disana, membuat siapa saja yang berada di tempat menjadi tenang.

Sabrina duduk termenung sendiri, di keasrian taman barunya itu.

Mengingat tiga bulan telah berlalu, hari yang akan di nanti oleh Zain akan segera terwujud. Beberapa minggu setelahnya, Farah memberi keputusan untuk menerima tunangan Zain, tetapi dengan sebuah rencana yang telah ia siapkan rapi-rapi.

Sabrina kembali terombang-ambing. Ia masih dihantui dengan rencana Farah yang menurutnya itu sangat tak pantas.

Sabrina terdiam, hatinya seakan berdebat sendiri. "Aku harus gimana? Ini memang kesempatan, tetapi aku benar-benar tak sanggup melihat reaksi Zain padaku nanti, jika hari itu benar-benar terjadi. Bisa-bisa Zain akan membenciku."

Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Sabrina, Meera pun duduk dan sedikit mengguncang salah satu pundak Sabrina.
"Assalamualaikum. Hey, kenapa? Murung banget?" Tanya Meera.

Sabrina sedikit menggeliat, ia menghadapkan pandangannya pada sahabat yang berada di sampingnya. "Eh Ra, waalaikumsalam. Gak papa kok, gimana usaha kamu?"

"Alhamdulillah lancar. Kangen banget aku sama kamu, makanya mumpung hari ini ada karyawan yang ngebantu, jadi aku kesini deh." Semenjak Sabrina dan Hasbi punya rumah, Meera lebih memilih untuk ngekost daripada ia harus numpang di rumah orang.

Sabrina tertawa kecil, "Ohh, gitu ..."

"Gimana kondisi hati kamu, Brin?" Tanya Meera seakan tak pernah lupa dengan keadaan Sahabatnya yang harus merelakan Zain.

Sabrina terdiam cukup lama, ia kembali teringat akan rencana Farah itu. Apakah sahabatnya berhak tahu mengenai ini? Salahkah jika ia sedikit bercerita untuk menyelesaikan masalah ini? "Aku harus gimana, Ra? Aku harus gimana?" Rengek Sabrina mengusap wajahnya frustasi.

Meera gagal memahami maksud Sabrina, ia sekedar mengira jika lelaki yang selama ini Sabrina harapkan itu akan menikah dengan orang lain, tetapi ada rencana terselubung dari Farah. Meski Sabrina tak pernah bercerita tentang rasa Mahabbahnya terhadap Zain, tapi Meera cukup peka dengan mata Sabrina yang mengisyaratkan semuanya.

"Kamu tahu, Ra?" Tanya Sabrina menatap lekat Meera dengan kedua mata yang mulai memerah.

Meera menatap Sabrina penuh keheranan, sahabatnya yang satu ini tak pernah menatapnya penuh mengintimidasi.

Meera menggeleng pelan, Sabrina mengalihkan pandangannya lurus ke depan tak lagi bertatap pandang dengan Meera.

Sabrina bangkit dari duduknya, berjalan sekitar lima langkah membelakangi posisi Meera.

Sabrina perlahan menceritakan semuanya, sampai detik ini mulut Meera masih menganga seolah tak percaya.

"Jadi, Farah itu nyuruh kamu buat gantiin dia? Dan dia nanti tiba-tiba kabur, gitu?" Tanya Meera masih tak percaya.
Sabrina mengangguk, posisinya masih membelakangi Meera.

PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang